“Emang nggak bayar?”
“Ini kok loketnya kosong nggak
ada orang?”
Masuk ke Bori Kalimbuang ini
nggak gratis ya, cuma pas gue ke sana kebetulan aja lagi nggak ada penjaganya.
Bukan karena apa, tapi ternyata di area belakang tempat wisata Bori Kalimbuang
ini sedang ada rapat pariwisata tahunan, jadi semua orang sedang berkumpul di
sana. Tahu hal demikian karena bertemu dengan seorang wanita yang tampak
bersemangat saat bertemu kami dan menjelaskan beberapa hal tentang Bori
Kalimbuang ini.
Bori Kalimbuang merupakan sebuah
area yang terdapat banyak susunan batu menhir peninggalan zaman megalitikum.
Lalu kenapa semua posisi batunya bisa rapi dan berdiri tegak seolah ada yang
menatanya? Ya, memang betul, batu-batuan yang berdiri di Bori Kalimbuang memang
dibentuk dan ditata sedemikian rupa oleh manusia. Tujuannya dari dibuatnya batu
menhir ini adalah untuk menghormati para pemuka adat atau bangsawan kala itu
yang sudah meninggal. Semakin tinggi batu menhirnya, maka menunjukkan bahwa ia
semakin dihormati derajatnya. Prosesnya sama seperti membuat kuburan batu yang
membutuhkan biaya besar, mendirikan batu menhir ini juga katanya harus
mengorbankan minimal 24 ekor kerbau (bahasa Torajanya adalah Tedong). Nggak
hanya harus mengorbankan kerbau, tapi katanya ritual untuk mendirikan sebuah
batu ini sangatlah panjang hingga berbulan-bulan dan membutuhkan tenaga manusia
yang banyak. Tapi diluar itu semua, poin utamanya dari dibangunnya Batu Menhir
ini adalah sifat gotong royong dan kebersamaannya, sesulit dan seberat apapun
bisa dilakukan jika kita bisa bekerja sama dengan yang lain. Nice!
Di area wisata Bori Kalimbuang ini juga terdapat kuburan batu, baby graves, dan rumah adat Tongkonan dengan 1000 tanduk kerbau. Jarak satu lokasi ke lokasi yang lain nggak jauh, mungkin hanya sekitar 500-700 meter aja. Di tempat ini, pertama kalinya gue melihat kuburan bayi (baby grave), yang di kubur bukan di tanah atau di batu, melainkan di pohon. Pohon yang digunakan adalah pohon tarra yang ukurannya gede banget dan katanya bayi yang boleh dikuburkan di sana harus di bawah 6 bulan. Kenapa pohon tarra? Ya, katanya pohon ini punya banyak getah yang diibaratkan sebagai pengganti ASI, jadi seolah-seolah kita mengembalikan si bayi ke rahim sang Ibu. Lalu, minimal bayi 6 bulan karena usia tersebut dianggap masa kehidupan yang masih suci dan belum ada dosa. Prosesnya sama seperti menguburkan jenazah di batu, pohon itu dilubangi seukuran bayinya dan kemudian ditutup dengan ijuk. Keren ya Indonesia, punya berbagai macam adat yang sangatlah beragam dan unik.
|
satu tempat 3 objek wisata |
|
kuburan batu di Bori Kalimbuang |
|
ini kuburan lo, meriding juga kalau kelamaan di sini |
|
nah itu, yang berbentuk kotak hitam itu adalah ijuk sebagai penutup kuburan bayinya |
|
Rumah Adat Tongkonan dengan 1000 tanduk kerbau |
Posisi terjauh adalah rumah adat Tongkonan dengan 1000 tanduk kerbau, yang sama saja seperti di Pallawa atau Kete Kesu. Namun, bukan rumahnya yang menarik perhatian gue, tapi selama berjalan kaki menuju tempat tersebut, gue melewati banyak pohon cokelat yang sepertinya tidak diurus oleh pemiliknya. Buah-buah cokelat banyak banget yang berjatuhan di tanah dan terurai begitu saja. Ah sayang sekali, padahal di tempat lain cokelat benar-benar diolah dengan baik dan menjadi oleh-oleh khas. Nah, ada yang lucu lagi nih, kalau di tanah Jawa kan banyak kandang sapi ya di desanya dan selalu terdengar dari jalan “mooo…mooo….”, tapi di Toraja nggak, karena yang ada adalah kandang babi. Makannya gue agak sedikit kaget pas tiba-tiba denger suara “groook….grooook….” kenceng banget, gue kira genderuwo muncul siang-siang, haha.
Bori Kalimbuang ini sayang banget dilewati kalau lagi main di Toraja, terlebih lagi lokasinya juga termasuk mudah dicari dan ditemukan karena berada di pinggir jalan persis. Selamat traveling!
Comments
Post a Comment