Negeri Paman Ho, Ternyata Nggak Seburuk Yang Dibayangkan. Apa Iya Ki?
Perjalanan dimulai pada awal bulan
Mei 2016, tepatnya di tanggal 6 sampai 11 Mei 2016. Perjalanan ini menjadi yang
pertama kalinya saya pergi ke luar negeri dan Vietnam lah destinasi pilihannya.
Saigon tepatnya, sebuah kota yang kini juga dikenal dengan nama Ho Chi Minh
City. Sebuah kota di selatan Vietnam yang punya populasi penduduk yang paling
padat dan terbayang-bayang akan carut marutnya kendaraan roda dua di jalan raya
saat itu. Tapi justru itulah yang menjadi daya tarik dari Ho Chi Minh City bagi
para penikmatnya, apa iya?
Jika berbicara manusia, di Vietnam
tidak jauh berbeda dengan kota-kota lain di kawasan Indochina. Wajah dan
perawakan Tionghoa yang menjadi ciri khas dari etnis Vietnam ini sangat
familiar untuk dilihat. Mereka tidaklah angkuh seperti yang dibicarakan orang-orang, mereka tidaklah sombong, mereka sama
baiknya dengan kita. Sapalah ketika bertemu, maka senyum dan sapa balik pun
akan membuat harimu lebih bersemangat untuk menjelajah negeri Paman Ho ini. Itu
terbukti setiap kali saya keluar kamar hotel dan mulai menyapa orang satu per
satu mulai dari petugas hotel, penduduk sekitar, sampai anak-anak sekolah yang
lewat. Ketika saya sedang asyik berfoto di depan gedung parlemen Ho Chi Minh
City, ada segerombolan anak muda yang sepertinya sedang berfoto untuk buku
tahunan dengan menggunakan pakaian khas Vietnam yang dikenal dengan Ao Dai.
Awalnya hanya iseng dan bertanya apa mereka mau diajak berfoto, tak disangka
tak dinyana mereka justru senang dan senyum pun merekah dari mereka semua. Ah
senangnya!
Walaupun banyak yang bilang
Vietnam nggak jauh berbeda dengan Indonesia, mulai dari kondisi geografisnya,
lalu lintasnya, cuaca, dan sebagainya, tapi jangan salah, ada banyak hal yang
bisa saya jadikan pengalaman dan pelajaran selama berada di sini. Misalnya,
walaupun memang terlihat semrawut dengan banyaknya motor di jalan raya, tetapi mereka
sangat menghargai para pejalan kaki lo. Terbukti ketika saya sedang
berjalan-jalan di jam pulang kerja kota Saigon (Ho Chi
Minh City). Jalan raya sedang macet-macetnya, saya masih tetap nyaman berjalan
kaki di trotar yang ukurannya cukup lebar. Nggak ada tuh yang namanya
motor berselancar ria melewati daerah teritorial para pejalan kaki ini. Hebat kan?
Banyak juga yang bilang;
“pasti susah banget nyebrang di jalan raya di Saigon ya?”
Kalau dibilang susah nggak juga sih sebenernya, asalkan kita nggak ragu. Artinya begini, sama halnya kita seperti sedang mengarungi lautan dengan ombak yang kuat. Jalan terus, yakin dan pantang mundur, karena kalau kita sendiri ragu dan takut saat menyeberang, pengendara pun akan kebingungan dan justru bisa mengakibatkan kecelakaan, karena si pengendara mengerem kendaraannya secara mendadak. Tetap pasang “kode” tangan untuk menandakan kepada pengendara saat melewati zebra cros, itu juga sekaligus menandakan kalau kita adalah pejalan kaki yang juga ramah kepada pengendara kendaraan bermotor.
Oh iya, perlu diingat bahwa lajur kendaraan di Vietnam ini terbalik dengan lajur kendaraan yang ada di Indonesia, jadi ketika menyeberang kita diwajibkan untuk tengok kiri terlebih dahulu, bukan tengok ke kanan. Mengapa demikian? Ya, karena kemudi kendaraan di Vietnam berada di sisi kiri bukan di sisi kanan. Be careful!
“pasti susah banget nyebrang di jalan raya di Saigon ya?”
Kalau dibilang susah nggak juga sih sebenernya, asalkan kita nggak ragu. Artinya begini, sama halnya kita seperti sedang mengarungi lautan dengan ombak yang kuat. Jalan terus, yakin dan pantang mundur, karena kalau kita sendiri ragu dan takut saat menyeberang, pengendara pun akan kebingungan dan justru bisa mengakibatkan kecelakaan, karena si pengendara mengerem kendaraannya secara mendadak. Tetap pasang “kode” tangan untuk menandakan kepada pengendara saat melewati zebra cros, itu juga sekaligus menandakan kalau kita adalah pejalan kaki yang juga ramah kepada pengendara kendaraan bermotor.
Oh iya, perlu diingat bahwa lajur kendaraan di Vietnam ini terbalik dengan lajur kendaraan yang ada di Indonesia, jadi ketika menyeberang kita diwajibkan untuk tengok kiri terlebih dahulu, bukan tengok ke kanan. Mengapa demikian? Ya, karena kemudi kendaraan di Vietnam berada di sisi kiri bukan di sisi kanan. Be careful!
Nah ini yang dinanti, berbicara
soal kuliner sebenarnya tidak lepas dari yang namanya tradisi warga lokal di sini. Penduduk
Vietnam, mereka gemar sekali dengan kopi. Kopi menjadi raja di sini. Setiap
pagi sebelum beraktivitas, banyak dari mereka yang mengisi energinya dengan
secangkir kopi. Duduk di kursi kecil di pinggir jalan, menikmati indahnya pagi
dengan secangkir kopi yang sepertinya sudah menjadi ritual wajib setiap pagi bagi
mereka. Maka jangan pernah heran, ketika matahari mulai terbit di sini, sudah
banyak penjual kopi di sudut jalan yang ramai oleh mereka-mereka yang datang.
Kopi Vietnam, ya, itulah yang harus wajib dicoba ketika datang ke sini. Saya sempat mencoba 2 jenis kopi Vietnam, panas dan dingin. Keduanya punya keunikan masing-masing, yang panas disajikan di cangkir bersama saringan di bagian atasnya. Jika cangkir tersebut transparan, proses tetesan kopinya menjadi sebuah pertunjukan tersendiri yang menarik untuk dinikmati. Lalu ada Vietnamese iced coffee, sungguh pertama kalinya saya mencoba kopi dengan suhu yang dingin. Jujur, sebenarnya saya bukanlah pecinta kopi hitam, karena rasa pahitnya itu (hidup udah pahit ditambah kopi pahit, duh!). Namun entah kenapa saya menyukai kopi Vietnam ini. Kopi Vietnam memang kopi hitam, tapi rasanya tidak pahit asam, tapi pahit manis, pure Arabika sepertinya. Itu saya rasakan sebelum kopinya saya aduk dengan susu kental manis di bagian dasar cangkirnya. Enak!
Kopi Vietnam, ya, itulah yang harus wajib dicoba ketika datang ke sini. Saya sempat mencoba 2 jenis kopi Vietnam, panas dan dingin. Keduanya punya keunikan masing-masing, yang panas disajikan di cangkir bersama saringan di bagian atasnya. Jika cangkir tersebut transparan, proses tetesan kopinya menjadi sebuah pertunjukan tersendiri yang menarik untuk dinikmati. Lalu ada Vietnamese iced coffee, sungguh pertama kalinya saya mencoba kopi dengan suhu yang dingin. Jujur, sebenarnya saya bukanlah pecinta kopi hitam, karena rasa pahitnya itu (hidup udah pahit ditambah kopi pahit, duh!). Namun entah kenapa saya menyukai kopi Vietnam ini. Kopi Vietnam memang kopi hitam, tapi rasanya tidak pahit asam, tapi pahit manis, pure Arabika sepertinya. Itu saya rasakan sebelum kopinya saya aduk dengan susu kental manis di bagian dasar cangkirnya. Enak!
Hal menarik lainnya yang baru
saya ketahui, bahwa di Vietnam ini jika memesan ke sebuah tempat makan atau memesan
menu sarapan di hotel dengan kata “bread”
di dalamnya, jangan harap yang datang
adalah roti tawar. Saya sempat terkejut saat pertama kali memilih sarapan “omelet egg with bread” dan yang datang
adalah telur bersama baguette yang
besarnya melebihi tangan gemuk saya ini. Berpikir sejenak dan saya baru
mengeluarkan kata “Ah, I See..” baru ingat kalau Vietnam adalah bekas jajahan dari negara Perancis. Maka jangan heran kalau di sini banyak peninggalan-peninggalan bangsa Perancis, termasuk pada makanannya.
Oh iya, hampir lupa, saking asyiknya
cerita. Pho! Pho! Pho! Makanan ini nggak boleh terlewatkan ketika berkunjung ke
Vietnam, khususnya Saigon (Ho Chi Minh City). Di seberang pasar Ben Thanh terdapat
restoran Pho yang sangat terkenal, namanya Pho2000. Ekspektasi awal biasa saja, sampai hal itu sirna ketika menyantapnya di seruputan
pertama. Duh pengen lagi! Tekstur mi yang kenyal berbentuk gepeng ini punya tekstur yang lembut
dan halus, walaupun bentuknya mirip kuetiaw tapi teksturnya berbeda jauh. Menyantap Pho menggunakan sumpit bersama potongan dagingnya, duduk
di pinggir kaca jendela dan menghadap ke September
23 Park yang penuh dengan keceriaan orang-orang yang bermain dan bersantai sungguh
menjadi pengalaman liburan di Vietnam yang tak terlupakan.
Cám ơn!
Comments
Post a Comment