Kampung Kapitan, Palembang: Wisata Potensial Kota Palembang, Pemerintahnya Ngurusin Nggak?
Pagi hari di hari ketiga di
Palembang, gue langsung cus pergi ke salah satu wisata budaya yang ada di
Palembang, yaitu Kampung Kapitan. Lokasinya ada di pinggir Sungai Musi,
masuknya kalau dari arah kota, kita harus menyeberang dulu ke Jembatan Ampera dan
cari puter balik. Setelah puter balik langsung ambil arah kiri dan masuk ke
dalem area pasar, nah jangan ngebut-ngebut kalau udah masuk area pasar karena
papan petunjuknya kecil banget.
Gue pas sampai di area pasar ini
juga kebingungan parkir mobilnya dimana, masuklah gue ke dalam sebuah sekolah
buat parkir. Jalan kaki ke dalem gang dan pas lagi jalan kaki tiba-tiba ada
bapak-bapak yang ngasih tau “mas, pakai mobil ya? Mobilnya bisa masuk ke dalem
mas”. Wah gue pun berterimakasih sama si bapaknya dan balik lagi ke sekolahan
buat ngambil mobil dan masuk ke dalem. Gang masuk ke dalem Kampung Kapitannya
emang keliatan nggak besar, makannya gue agak ragu buat masuk. Tapi ternyata emang
beneran bisa masuk ke dalem tapi emang kalau ketemu 2 mobil hadap-hadapan ada
yang harus ngalah salah satunya. Bawa mobil masuk ke dalem aja terus sampai
ketemu sama area yang lumayan luas dan terlihat rumah tua besar di sana.
nah ini jalan masuknya ke Kampung Kapitan, keliatan sempit tapi mobil bisa masuk |
ini bangunan utamanya |
ini area depan bangunannya |
sama sekali belum ada pemugaran |
Sampai di Kampung Kampitan
sekitar jam 8 pagi dan kebetulan aja pintu rumahnya baru aja dibukain sama
seorang bapak di sana. Lah emang rumah apaan ki? Iya, jadi wisata Kampung
Kapitan ini adalah wisata sejarah berupa bangunan tua peninggalan dari Sang
Kapitan. Siapa lagi itu Sang Kapitan deh? Oke, Kapitan sendiri artinya adalah
kapten atau pemimpin yang dulu punya status tertinggi dan kewenangan untuk
memimpin suatu wilayah. Bangunan inilah yang dulunya menjadi tempat tinggal
dari Sang Kapitan itu dan terdiri dari 3 bangunan besar.
Secara keseluruhan dan tampak
dari luar bentuk bangunannya ini punya desain dari budaya China dan sedikit
unsur Palembang di bagian atap limasnya. Buat masuk ke dalem rumah peninggalan
Sang Kapitan ini ternyata kita nggak dikenakan biaya tiket retribusi sama
sekali. Duh! Tapi di sini jujur gue bukannya seneng karena gratis, tapi justru
sedih dan sangat disayangkan. Gue malah lebih seneng ketika tempat-tempat
bersejarah kayak gini dikenakan tiket retribusi masuknya, karena toh biaya itu
biasanya juga digunain buat perawatan bangunan untuk wisatanya.
Tapi di Kampung Kapitan ini gue
bertemu dengan seorang bapak yang beneran baik banget, namanya Pak Karim. Si
bapaknya ramah dan murah senyum banget ketika menjelaskan satu demi satu
tentang bangunan kapitan ini. Beliau tinggal di samping rumah peninggalan
kapitan ini dan setiap harinya beliau yang bertugas menjaga serta menjadi
pemandu ketika ada wisatawan yang datang berkunjung. Si bapak ngejelasinnya
bener-bener bersemangat dan penuh rasa bangga, itu yang bikin gue pun ikutan
semangat buat mendengarkan dan memperhatikannya.
Jadi, seperti yang gue bilang di
awal tadi kalau rumah kapitan ini terdiri dari 3 bangunan besar, 1 bangunan
utama dengan 2 bangunan pendamping yang ada di sisi kanan dan kirinya. Tapi
sangat disayangkan Pak Karim menjelaskan kalau ada satu bangunan yang terletak
di sebelah kanan (dari posisi halaman depan) sudah hancur dan rubuh. Jadi
ketika lo main ke Kampung Kapitan ini, lo bakal cuma ngeliat 2 bangunan aja di
sini.
Sambil bercerita, Pak Karim
sembari membuka-bukakan pintu dan jendela bangunan kapitan ini yang masih
tertutup. Pak Karim mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam ruangan di rumah
kapitan ini, namun beliau mengingatkan dan memberitahukan bahwa ada
bagian-bagian lantai yang tidak boleh diinjak dan dimasuki. Bukan karena apa,
tapi karena emang lantainya ini terbuat dari kayu dan dibawah lantainya ini
punya space (rumah model panggung)
dan banyak struktur bangunan yang emang rapuh. Emang bener ketika seorang gue
dengan berat badan yang “ideal lebih sedikit” ini hampir aja salah nginjek
lantai kayunya, untungnya Pak Karim dengan sigap langsung menegur gue “awas
mas!”. Ah thanks, pak!
Pak Karim ngejelasin satu per
satu yang rinci banget dan dengan nada yang ramah, seneng banget gue
dengerinnya, nggak bikin bosen. Tapi di sela-sela percakapan gue dengan Pak
Karim ini ada momen dimana raut wajah Pak Karim tiba-tiba tertunduk lesu ketika
menceritakan bahwa nggak ada sama sekali peran pemerintah untuk mempedulikan
apalagi merawat rumah kapitan ini. Pak Karim menjelaskan bahwa “dulu” pernah sekali
pemerintah datang ke sini di tahun 2010, menjanjikan banyak hal, perbaikan, dan
perubahan. Namun apa? Nyatanya sampai sekarang di tahun 2017 ini sama sekali
belum ada relalisasinya yang nyata dan tampak. Gue sempet ngeliat beberapa benda
dan papan petunjuk di kampung kapitan ini yang berlabel KKN (Kuliah Kerja
Nyata) dan PNPM Mandiri. Hal itu semakin menguatkan gue kalau memang bantuan
yang datang ke kampung kapitan ini bukan dari pemerintah, melainkan dari
mahasiswa dan swasta.
Pak Karim juga sempat
memberitahukan bahwa ada hasil skripsi dan beberapa karya tulis dari beberapa
mahasiswa yang sempat penelitian di rumah kapitan ini. Beliau sangat excited ketika kami merespon beliau dan
menawarkan untuk meng-copy-nya jika
kami menginginkannya untuk dibawa pulang menjadi bahan bacaan. Beliau pun pergi
ke fotocopy center terdekat dan
menyalinnya untuk kami. Wah, terima kasih Pak Karim.
pintunya bagus! |
ini isi dalem dari bangunan kapitan |
masih dipakai untuk ibadah |
nah tuh dari PNPM Mandiri (swasta) |
sayang banget, wisata potensial tapi nggak ada peran pemerintah |
Terakhir sebelum berpisah, gue
sebenernya pengen nanya penghasilan Pak Karim ini darimana, tapi karena guenya
mungkin agak sungkan, jadi mengurungkan niat bertanya itu. Tapi yang jelas,
ketika lo main ke sini dan bertemu dengan Pak Karim atau siapa pun itu yang
sudah berusaha merawat dan menjaga bangunan peninggalan bersejarah ini, jangan
sungkan untuk memberikan sedikit “donasi” sebagai tanda terima kasih dan bukti
kalau memang lo peduli. Oh iya, di sini di kampung kapitan ini gue belajar satu
hal lagi, dimana ternyata Pak Karim ini ternyata seorang muslim. Beliau dengan
senang hati membantu menjaga dan merawat rumah kapitan di Palembang ini yang
sejatinya bekas peninggalan umat Tionghoa dan juga masih digunakan untuk tempat
beribadah umat Tionghoa yang tinggal di sekitarnya. Selamat berkunjung!
Comments
Post a Comment