Hari ke-1 di MELAKA: Girang Banget Liat Burung, Peti Mati (Creepy) di Ujung Jalan, Makan Alien Jumbo!


Hari Pertama, 19 April 2017


Berangkat Aja Udah Dilema
Seperti biasa, kalau tiket promo atau tiket murah pasti rata-rata disebar di jam penerbangan paling pagi. Sebenernya ada untung dan ada nggaknya sih.

Keuntungannya kita bakalan mendapatkan waktu lebih buat explore destinasi tujuan karena sampai di lokasi masih pagi, tapi nggak enaknya adalah mau nggak mau kita udah harus di bandara sekitar jam 3-4 pagi. 

Itulah yang gue alami kalau mau traveling dengan harga tiket promo, kali ini di penerbangan ke Kuala Lumpur gue juga berangkat paling pagi jam 6:25 WIB.

Menemukan dilema, mau berangkat dari kos di Slipi atau dari kantor di BSD. Konsekuensi kalau berangkat jam 3 pagi dari Slipi, bakal susah cari GrabCar jam segitu, tapi enaknya adalah bisa tidur dulu. 

Kalau berangkat dari BSD, memang sedikit lebih hemat karena naik XTrans cuma Rp50.000 di jam 9 malam, tapi konsekuensinya harus tidur di bandara menunggu pagi. 

Akhirnya demi menghemat pengeluaran dan juga udah biasa bermalam di bandara, gue memutuskan untuk menunggu di bandara aja.


Berangkat dari kantor ke kantor travel XTrans sekitar jam 8 malam, karena gue ngambil travel terakhir ke bandara di jam 9. Sebelumnya gue udah pernah naik XTrans ke bandara, tapi yang lewat jalur tol seharga Rp70.000, kali ini gue pilih non-tol harganya Rp50.000 aja dan ternyata mobilnya pakai ELF bukan mobil keren yang pernah gue naiki sebelumnya. 

Dan tau apa? Di mobil ELF sebesar itu cuma gue berdua dengan si driver-nya aja, jadinya berasa lagi naik grab atau taksi deh. Perjalanan non-tol lewat Kota Tangerang dari BSD sekitar 1,5 - 2 jam, gue manfaatkan buat bobok aja, lumayan tidur 2 jam. Bener aja, saking pulesnya tiba-tiba terbangun pas mobil ELF ini sampai di belakang bandara sekitar jam 11 malam. 

Turun di terminal 2E dengan suasana tengah malam bandara yang masih ramai dari mereka-mereka yang baru mendarat. Tapi di dalam masih banyak kursi-kursi kosong, duduklah gue di sebaris kursi yang kosong itu. Ada yang bikin sebel nih, ceritanya gue udah beli air minum, gue bawa dan taruh di samping tas pas lagi duduk. Gue lagi makan beng-beng dan nyemilin chiki, pas mau minum (eh kampret) itu air minum hilang! (Lah?). Bingung setengah mati mikir ke mana air minum gue dan sampai gue menyimpulkan kalau pas gue taruh di kursi tadi jatuh. Emang ada petugas kebersihan yang lewat di belakang gue, apa mungkin air minum gue dibuang karena kelihatan jatuh di lantai (yakali mas). Seharusnya kan petugas nanya dulu (“mas ini air minum siapa?”) atau apa lah ke gue, ini mah nggak, main asal buang aja. Masalahnya, oke kalau air minum itu jatuh di lantai tinggal sedikit, pasti si petugas kebersihan notice-nya itu adalah sampah, tapi ini belum gue buka sama sekali lo, main asal buang aja! Grrrr…..

Sekitar jam 4 pagi pintu masuk pemeriksaan mulai dibuka dan gue mulai antre dengan yang lain. Ada yang berbeda kali ini dan baru pertama kali gue coba, yaitu autogate immigration. Jadi ini adalah gerbang otomatis untuk pemegang paspor Indonesia, jadi nggak perlu lagi antre dan bertemu tatap muka dengan petugas imigrasi. Gue pikir ini solusi yang bagus, tapi pada kenyataan dan prakteknya nggak seindah yang dibayangkan. Di gerbang autogate ini ada 2 baris antrean dan gue berada di belakang 2 orang mas-mas dan Ibu-Ibu, nah pas lagi antre kok di depan ribut-ribut (yang ternyata) nggak bisa masuk, nggak bisa masuk karena gagal proses autorisasi dari proses autogate ini. Gue jelasin dulu ya, jadi proses autorisasi dari gerbang otomatis imigrasi ini ada 3 tahap, pertama adalah scanning paspor, kedua adalah memindai sidik jari, dan terakhir adalah pengambilan foto wajah. Nah yang bikin lama antrean dari autogate imigrasi ini adalah banyak orang yang gagal dari masing-masing ketiga tahap autorisasi tersebut. Kita semua yang lagi antre nggak ada yang sebel atau gondok karena terlalu lama menunggu, tapi justru kita saling bantu satu sama lain. 

“bu, coba paspornya lurus jangan miring”
“pak coba pakai jari lainnya”
“pak, coba munduran pas fotonya”

Nah giliran gue nih, di proses scanning paspor butuh 3 kali pengulangan baru berhasil, begitu juga di proses scanning sidik jari juga harus berulang kali mencoba baru berhasil, dan ketika foto di kamera pun bener harus in-frame sesuai permintaan kameranya. Jadi butuh waktu sekitar 3-7 menit buat proses autogate-nya itu sendiri, belum termasuk waktu antreannya lo ya. Padahal kalau kita lewat petugas imigrasi (sebenernya) nggak sampai selama itu, paling 1-2 menitan aja buat ngecek dan si petugas ngecap-ngecap. Bingung juga sih kasih kesimpulan, intinya bagus dan udah modern dengan autogate imigrasi ini, tapi hmm (apa ya) mungkin masih butuh pengembangan lagi supaya ketiga proses autorisasinya lebih cepet dan lebih lancar.

itu tuh model autogate imigrasi-nya (sumber: artofgettinglost.wordpress.com)
Penerbangan 2 jam dari Jakarta ke Kuala Lumpur seperti biasa (nggak ada yang spesial), sampai di KLIA2 sekitar jam 9 pagi dan gue kelaperan, searah dengan loket penjualan tiket bis (L1 terminal keberangkatan), gue mampir ke KK Mart. Gue beli roti cokelat dan air mineral seharga 5.20 MYR, lumayan banget buat ganjel perut. Loket pembelian tiket bis letaknya ada di seberang KK Mart, loket bis buat pergi ke berbagai kota di Malaysia. Gue beli tiket Bis Transnasional ke Melaka seharga 5.20 MYR dan harus menunggu di jalur keberangkatan bis nomor A8. Perjalanan dari KLIA2 ke Melaka butuh waktu sekitar 2 jam, gue berangkat dari KLIA2 jam 10:45 dan sampai di Melaka Sentral jam 1 siang.

eh ada Datuk Siti!
nah tuh petunjuknya ke Level 1
formalitas doang nih tiketnya, nggak diperiksa lagi di bisnya
kalau udah sampai di Melaka Sentral, cari petunjuk "bas domestik"
tuh bisnya pake model low-deck kan!
kalau ke Ocean Mall, cuma 1 ringgit! murah banget coi!
Sampai di Melaka Sentral gue langsung mencari bis Panorama Malaka dengan tujuan Ocean Mall. Gue hampir salah naik bis anjir, gara-gara sok tau. Gue mengikuti petunjuk yang infonya dapet dari penginapan (katanya bis nomor sekian akan turun di depan Ocean Mall, kenyataannya salah dan berbeda bis yang harus gue naiki), elah! Tapi kerennya di sini (Melaka) bis kotanya itu bukan pakai bis-bis reguler lo, maksudnya bukan pakai bis-bis kursi hadap depan seperti biasanya, tapi pakai bis low deck seperti di bandara (tau kan?). Beli tiket bisnya juga nggak di loket, tapi bayar langsung di dalam bis, pas masuk kita kasih uang ke sopirnya dan kalau kembali nanti akan dikembalikan (iyalah ki, apa sih). Dari Melaka Sentral ke Ocean Mall butuh waktu sekitar 30 menitan aja, turun di sana dan masih harus lanjut jalan kaki sekitar 1 km buat sampai ke penginapan di Melaka.

Gue menginap di Victors Guesthouse dan pas sampai di tempatnya langsung di sambut (yang menurut gue) owner-nya deh, namanya Mr.William. Doi baik dan ramah banget, menjelaskan gue berbagai macam hal yang bisa dilakukan di Melaka ini. Gue mendengarkan Mr.William sambil lap-lap keringet yang bercucuran karena habis jalan kaki di panasnya Melaka siang itu. Masuk ke dalam kamar single yang nggak ber-AC (cuma pakai kipas angin), gue langsung buka baju dan gegulingan di kasur. Aaaaaah…… nikmatnyoo….!!

jalan kaki dari Ocean Mall ke Victors Guesthouse bakalan ngelewatin jembatan ini
nah itu yang di depan mobil pintu masuk ke Victors Guesthouse-nya
Istirahat sebentar sekitar 1 jam di penginapan, mandi, badan jadi seger lagi dan gue keluar sekitar jam 3 sore. Lapeeeer…..lapeeeer…pengen nasii…!!! Jalan kaki dari penginapan ke arah bangunan merah sekitar 10 menitan, tapi sebelum masuk ke wilayah bangunan merah gue mampir ke kawasan Little India. Di sini gue berhenti dan masuk ke salah satu restoran India namanya Selvam Restaurant. Mengisi amunisi dulu biar nggak lemes-lemes amat buat explore Melaka sendirian sampai malam. Ternyata, murah banget makan di sini, walaupun namanya restaurant tapi gue cuma habis 5.10 MYR aja (15.000-an doang). Terlebih lagi Selvam Restaurant ini masih kental banget India-nya yang diterapkan dari cara penyajian makanannya yang menggunakan daun pisang dan makan pakai tangan. Ah persiapan nih buat bertemu budaya India yang beneran di tahun depan, Amin dah!

warna restorannya serba ijo, mencolok banget dari jalan raya
rame banget di sini, nggak kenal jam (padahal ini jam 4 sore lo)
eh ini enak lo beneran dan murah...
Perut kenyang dan lanjut jalan lagi, persis di dekat Selvam Restaurant ini ada sebuah taman kecil yang buanyaaak banget burung daranya, banyak, asli buaaaaanyak banget! Girang sendiri gue lihat burung dara sebanyak itu (norak lu ki!). Oke, dari Selvam Restaurant ke bangunan merah atau Gereja Stadhuys tinggal lurus aja sampai bertemu jalanan yang ber-conblock. Gue di bangunan merah sekitar jam 5 sore dan suasananya rame banget sama wisatawan (iyalah ki ini emang spot utama di Melaka). Di Gereja Stadhuys ini kita bisa masuk ke dalamnya, sama seperti Gereja Notre-Dame Basilica di Saigon, cuma asyiknya di Gereja Stadhuys ini kita benar bisa masuk sampai ke depan altarnya dan di dalam gerejanya juga ada yang berjualan souvenir oleh-oleh. Pas gue masuk ke dalam dan lagi asyiknya foto, eh tiba-tiba ada yang bilang “no photo! no photo!” (waduh!). Iya, jadi ternyata nggak wisatawan nggak diperbolehkan foto-foto barang yang dijual di sana, yang menegur gue pun adalah si penjual. Tapi kalau kita mau foto-foto dalam gerejanya sih boleh, cuma ya itu tadi bukan barang-barang yang dijual di sana ya (haha maaf pak, tak tau awak).

huaaaaanjiiirrr banyaaak banget burungnya coi!
girang sendiri mainan burung di sini gue!
jangan mainan burung mulu woi!
asik nih bisa masuk ke dalem gerejanya
abis jepretan ini, dimarahin gue njir!
Kelar dari Gereja Stadhuys gue jalan ke arah Jonker Walk, yang asyik trotoarnya di sini, luas dan nyaman banget, mungkin kalau yang pernah ke Legian-Kuta ini nggak jauh berbeda. Sepanjang jalan di kanan kirinya banyak toko oleh-oleh sampai yang jual berbagai makanan. Gue mampir ke Sevel di Jonker Walk buat beli minum, seperti biasa gue penasaran mencoba minuman yang aneh-aneh (terutama yang nggak ada di Indonesia). Gue beli air mineral ukuran besar (sekalian daripada beli-beli lagi) dan gue menemukan fanta rasa anggur dan minuman kedelai yang rasanya pakai cokelat Hersey’s (ulala!). Ketiga minuman itu gue bayar seharga 6.10 MYR, entah gue lupa masing-masing harganya berapa, tapi yang jelas minuman kedelainya itu lagi promo harganya cuma 1 MYR aja. Rasanya? Yang fanta anggur mirip orson gitu deh, yang susu kedelai Hersey’s-nya enak banget! Gue penyuka cokelat dan udah beberapa kali mencoba minuman kedelai yang “rasa cokelat” di Indonesia, tapi semua rasanya nggak ada yang bikin gue amazed, kecuali yang satu ini nih, enak!

ayik banget sepanjang kanal buat jalan kaki chantique
jalan kaki mau ke Gereja Stadhuys pasti bakalan lihat ini
mulai masuk bangunan-bangunan yang warnanya serba merah
sore-sore jalan kaki di sini asyik banget beneran
mirip-mirip Legian-Kuta lah ya ini, tapi masih lebih sepi
mirip orson rasanya ini! ngahahahha
nah ini nih enak banget!
Ini gue coba minumannya ngemper di depan toko yang tutup, berasa orang ilang njir (habisnya nggak ada kursi di Jonker Walk). Lagi asyik minum santai duduk di depan toko, eh dari jauh terdengar suara jeduk-jeduk lagu gangnam style yang semakin lama semakin kenceng. Ternyata suara itu asalnya dari becak-becak heboh yang lagi membawa turis Korea, eh lah ndalah kok ya itu turis Korea malah senyam-senyum ke gue, gue angkat tangan aja dan say “hai". Kayaknya sih doi malu dibawa muter-muter si abang becaknya pakai lagu gangnam style kenceng banget, hahaha…

Habis ngaso, gue lanjut jalan kaki lagi ke arah gue datang (ke arah bangunan merah), tapi gue baru inget kalau gue dapet titipan temen minta dibelikan kartu SIM di luar bandara. Yaudah mumpung gue inget dan masuklah gue ke salah satu counter hp di Jonker Walk. Bertanya ke sana kemari dan udah dijelaskan banyak sama si penjualnya tapi pas mendengar harganya langsung zonk, mahal oi! Nggak jadi beli dong gue, akhirnya pura-pura gue bilang ke si penjual kalau mau telepon temen dulu di luar, haha. Lanjut jalan lagi gue dan sesekali masuk ke beberapa toko oleh-oleh di Jonker Walk ini, niat awalnya mau beli magnet kulkas, udah ketemu malah bingung pengen beli apa nggak, akhirnya menyesal sendiri malam harinya karena nggak jadi beli. Muter lagi di sekitar kanal air Melaka dan Gereja Stadhuys, ternyata semakin malam semakin ramai wisatawan yang datang. Oh iya gue kaget lo pas lihat jam, karena jam setengah 8 malam langitnya masih terang banget. Gue kira masih jam setengah 6 dan gue kira jam tangan rusak atau salah pengaturan, tapi ternyata nggak. Jadi matahari di sini baru benar hilang dan langit menjadi gelap sekitar jam 8 malam lewat, waw!

makin malem justru makin rame di sini
cakep kan cakep kan, indah kan indah kan!
chantique!
Nah pas melewati 2 pohon besar dan rindang di jembatan penghubung antara Gereja Stadhuys dan Jonker Walk (yang ada Hard Rock Café sama H&M-nya), ada suara berisik burung dari sana, berisik banget. Gue nggak tau ada berapa ribu burung di pohon itu, yang jelas suaranya bener-bener nyaring kenceng banget. Pas hari udah gelap, seolah Melaka baru bangun dari tidurnya, buaguuus bangeeet, lampu-lampu di pinggir kanal mulai menyala dan cantik banget. Di perempatan Jonker Walk ada bangunan serba merah dengan lampion bergantungan di sana, cakep banget (norak sih karena gue belum pernah lihat yang seperti itu di Indonesia). Menyusuri sepanjang kanalnya kalau malam juga asyik, banyak kafe-kafe yang sepertinya seru buat nongkrong bareng temen. Selepas dari bangunan merah dan kanal air, gue lanjut ke arah penginapan sambil mencari makan yang sebenernya gue nggak tau pengen makan apa malam itu. Jalan kaki terus sampai gue masuk ke gang sepi yang ternyata di ujung jalan adalah tempat pembuatan peti mati, njir! (eh beneran itu creepy banget!).

mulai deh jalan kaki sendiri auk mau ke mana
mulai nyasar entah lewat mana dah ini
Setelah keluar dari gang kecil dan kembali bertemu jalan besar, gue melewati street hawkers yang udah pernah gue baca sebelumnya dari banyak blog. Namanya adalah Medan Makan Bunga Raya yang menjual fried oyster di Melaka ini. Bener aja kalau banyak yang bilang ini terkenal dan enak, wong antreannya yang beli juga banyak. Gue sempet bingung di depan gerobak penjual Ibunya, celingak celinguk kayak orang ilang. Bingung bukan karena gimana cara bilang atau pesennya, tapi bingung karena kok nggak ada meja kursinya buat duduk. Pas udah di depan ibunya juga kebingungan lagi karena sama sekali nggak ada Bahasa Inggris di sana, semuanya Chinese (oh my lord!). Mungkin si Ibunya melihat gue kebingungan kali ya, akhirnya Ibunya bilang ke gue "order? this is big and this is small". Sambil nunjuk ke tulisan Bahasa Chinese dengan angka 12 sama 8 di sana. Ooooo… gue mengerti sekarang kalau itu artinya big or small, haha. Gue pesen yang besar dan lumayan lama nunggunya sampai kemudian gue bilang "can I eat here?", Ibunya langsung ngasih kursi buat gue duduk. Pertama kalinya mencoba oyster dan bayangan gue dari makhluk hidup ini mirip alien laut. Ekspektasinya kenyil-kenyil mirip kerang, tapi bener karena teksturnya mirip kerang dara (tau kan?). Makan porsi jumbo-nya anjir banyak banget dan gue nggak sanggup menghabiskan saat itu juga dan minta dibungkus sisanya.

si Bapak penjual fried oyster
eh ini enak lo beneran, pertama kali nyobain dan langsung suka!
Gue pulang ke penginapan dan langsung pengen mandi karena gerah banget. Setelah mandi, guling-gulingan di kasur, upload-upload foto, dan baru inget kalau masih bawa sisa fried oyster yang nggak habis tadi. Yaudah daripada besok pagi malah nggak enak, gue makan itu sisanya. Perut kenyang bikin tidur udah kayak orang mati. Good night! 


masih lanjut di sini....

Comments