Hari
ke-5 (Selasa, 10 Mei 2016)
Full Day Tour Mekong Delta - City Hall in The Night - Street Food!
|
kapal yang siap membawa kita mengelilingi Mekong Delta |
Seperti biasa, hari kelima di
Vietnam dimulai dengan bermalas-malasan di kasur hotel yang empuk banget, plus selimut yang super tebal. Kali ini
kami akan pergi seharian penuh, maka untuk sarapannya, saya memesan menu bisa
memberikan energi yang cukup. Saya memesan telur dadar keju dengan roti baguette,
ditambah segelas teh manis hangat. Lumayan!
Sarapan selesai, protein dan karbohidrat
pun sudah mendarat di perut. Kami langsung bergegas menuju TheSinhTourist untuk
mengikuti full day Mekong Delta tour,
dimana jam berkumpul yang tertera adalah pukul setengah 9 pagi. Nggak lama
menunggu, kami pun diarahkan untuk berjalan kaki mengikuti sang tour
guide. Saya bertanya-tanya ke mana kami dibawa pergi? Mana bisnya? Ini
masih jauh? Ternyata benar saja, setelah hampir 10 menit berjalan kaki, kami
memang diarahkan ke lokasi semacam tempat parkir yang sangat luas. Oh ya, saya
mengerti. Berarti mungkin bis berukuran besar di sini nggak diperbolehkan masuk
ke dalam kota dan berhenti di pinggir jalan, dimana hal itu bisa mengakibatkan
kemacetan lalu lintas di sini. Cakeeep!! Kalau di Indonesia? Bis puter balik di
gang sempit pun bisa-bisa aja.
Perjalanan dari Kota Saigon
menuju Mekong Delta memakan waktu sekitar 2 – 2.5 jam. Seperti yang
sebelum-sebelumnya, dimana sang tour guide menjelaskan satu
per satu informasi penting apa saja mengenai Sungai Mekong Delta dan berbagai
hal yang bisa dijelaskan sepanjang perjalanannya. Berbeda dengan yang kemarin
saat ke Cu Chi Tunnel, kali ini kami mempunyai tour
guide yang menjelaskan dengan Bahasa Inggris cukup jelas. Oh, thanks
God!
|
si Mr.Tour Guide |
Kami tiba di lokasi sekitar pukul setengah 12 siang dan saat itu matahari sedang terik-teriknya. Dari tempat parkir, kami sedikit berjalan kaki untuk menuju perahu yang akan mengantar kami berkeliling sungai terpanjang ke-12 di dunia, sungai terpanjang ketiga di Asia, dan sungai terpanjang nomor satu di Asia Tenggara. Sebenarnya saat melintasi sungai Mekong Delta ini, saya langsung merasa Déjà Vu, karena ini persis seperti sungai yang pernah saya lewati di Pulau Bangka, Sumatera. Atau bahkan mungkin yang sudah pernah ke Kalimantan, ini mirip seperti sungai Kapuas (*karena saya hanya baru bisa melihat gambar-gambarnya di Internet). Airnya berwarna kecokelatan dan banyak hal yang lazim ditemui di sungai-sungai pada umumnya, seperti adanya keramba-keramba ikan, nelayan pencari ikan, rumah-rumah nelayan di pinggir sungai, dll. Tapi yang membuatnya berbeda adalah sungai ini sungguh luas dan besar, jadi seakan seperti lautan atau danau raksasa.
|
pemandangannya memang nggak jauh beda dengan Indonesia |
Kami berhenti pada destinasi pertama, yaitu melihat rumah khas penduduk Sungai Mekong Delta. Tetapi ada yang menurut saya sedikit mengernyitkan dahi di sini, pada halaman depannya banyak pohon-pohon bonsai dan bentuk atapnya seperti rumah-rumah adat khas yang ada di Jepang (*cieeelah kayak lu udah pernah ke Jepang ki!). Sama sekali nggak mencerminkan ke-khas-an dari Vietnam itu sendiri. Kami dipersilahkan masuk ke rumah tersebut untuk melihat isi bagian dalamnya. Mayoritas agama di Vietnam adalah Konghucu, Taoisme, dan Budha, jadi nggak mengherankan jika di dalam rumah penduduk Mekong Delta ini banyak terdapat dupa dan patung-patung Budha.
|
restoran di pinggiran sungai Mekong Delta |
|
katanya sih rumah adat penduduk Mekong Delta |
|
mirip rumah Joglo yah, di kampung Jawa. hahaha |
|
banyak dupanya |
Setelah itu, kami berlanjut ke salah satu spot penjualan souvenir khas, yang sebenernya saya di sini agak sedikit boring. Kok gitu? Ya, karena apa yang dijual di sana, hampir semuanya pernah saya lihat di Indonesia, khususnya di Jogja. Semua benda kerajinannya yang terbuat dari kayu, batok kepala, dan semacamnya yang udah nggak asing lagi. Di spot souvenir ini durasi yang berikan lumayan lama, alhasil saya hanya melihat-lihat sesekali dan setelahnya saya duduk manis di kursi kayu yang nggak jauh dari sana.
Setelah menunggu dengan waktu yang “lama banget”, kami menuju spot selanjutnya yang nggak jauh dari toko souvenir tadi. Di sana kami melihat cara pembuatan keripik kelapa khas Sungai Mekong Delta. Ada yang lucu di sini, [dan lagi-lagi] dimana saya dan Tyas sedikit menghela napas karenanya. Pabrik pembuatan keripik kelapa ini berada di tengah kebun-kebun buah, jadi kita harus menyusuri jalan setapak untuk menuju lokasinya. Nah sepanjang jalan setapak ini, sang tour guide menjelaskan berbagai tanaman buah yang ada di sekitarnya. Saya pun terdiam, karena banyak turis yang excited saat melihat tanaman jeruk bali, jeruk purut, dan salak, hehe.. (*mase, mbak’e neng londo ora ono yo?).
|
pusat oleh-oleh |
|
banyak orang yang tertarik, gue biasa aja |
|
jalan setapaknya |
Jadi keripik kelapa khas Mekong Delta ini ada 2 jenis, yaitu basah dan kering. Kami pun mencoba keduanya, namun kami punya pendapat yang berbeda. Tyas suka yang kering dan saya suka yang basah. Keripik yang kering menurut saya terlalu tipis dan nggak terlalu terasa kelapanya, sedangkan yang basah jauh lebih terasa. Harganya pun lebih mahal yang basah, namun apa daya saat itu saya ingin mengirit dan akhirnya memutuskan untuk membeli yang kering (karena pastinya lebih murah), haha… Harga untuk satu bungkus keripik kelapa kering adalah 10.000 VND dan yang basah 30.000 VND.
|
si penjual keripik kelapa |
|
proses pembuatan keripik kelapa |
|
ini yang kering, enak juga! |
Berhubung waktu sudah menunjukkan jam makan siang, maka selanjutnya kami diarahkan menuju restoran yang ada di dekat dermaga. Akhirnyaaaa!!! Yeaaaaaah….!! Perut yang dari tadi udah kelaparan kriak-kriuk minta diisi. Table restorannya model bulat dengan kapasitas sekitar 7 orang kursi. Di sinilah kami dituntut untuk berbaur dan mengenal satu sama lainnya. Kami berkenalan dengan 2 orang cewek dari Korea dan 3 orang cowok dari Thailand. 2 orang dari Korea cenderung pendiam dan pasif, sedangkan 3 orang cowok dari Thailand mereka jauh lebih interaktif.
Mereka bertiga humble dan sangat ramah kepada kami. Itu terbukti ketika makanan satu per satu datang ke meja makan. Salah satu dari mereka menyadari kalau Tyas menggunakan kerudung dan tentunya nggak memakan babi. Kemudian, dengan baiknya mereka menanyakan kepada si waiter, daging apa yang digunakan pada beberapa hidangan yang sudah diletakkan di meja kami. Benar saja, 2 hidangan dari banyak menu makanan di sana, ternyata menggunakan babi yaitu di spring roll-nya dan olahan daging dengan kuah hitam seperti semur. Mulai dari sanalah, kami pun mengobrol dengan akrabnya dengan ketiga cowok tersebut. Sampai makanan mulai habis satu persatu dan waiter pun berkeliling dengan membawa nampan berisikan berbagai jenis minuman dingin. Nah saya pikir minuman tersebut sudah termasuk ke dalam paket makan yang kami dapatkan dari tour, ternyata setelah selesai, kami ditagih pembayaran untuk minuman yang kami minum. Saya mengambil Lipton Tea kaleng dingin dan saya tebus dengan harga 20.000 VND.
|
Springroll goreng yang pakai pork |
|
pelayan membuatkan Springroll basah |
|
menu makan besar siang itu |
Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan menuju spot berikutnya, yaitu merupakan bagian utama dari tour Mekong Delta ini. Ya, kami akan menaiki sampan kecil milik para nelayan di sana untuk melintasi Sungai Mekong Delta. Satu perahu kecil bisa dinaiki oleh 4 orang wisatawan dan 2 orang nelayan lokal di sana. Saya, Tyas, seorang wanita India, dan seorang pria dari Korea. Satu perahu ya pastinya saya basa-basi dengan mereka, yang ternyata mereka berdua adalah seorang solo traveler. Nah saat akan tiba di tempat tujuan, Ibu nelayan yang nggak bisa berbahasa Inggris itu, menunjukkan pecahan uang kepada kami. Di mana kami berpikir, bahwa kami harus mengeluarkan uang tip kepada 2 nelayan tersebut. Si Ibu nelayan menunjukkan pecahan uang 50.000 VND, entah untuk satu kapal atau untuk satu orang. Saya dan Tyas baru inget kalau kami nggak membawa pecahan kecil saat itu, kami pun kebingungan karena sangat nggak mungkin kami memberikan pecahan 100.000 VND dan meminta kembalian atau memberikannya semua. Akhirnya, dengan wajah memelas saya mencolek dan mencoba meminjam uang kepada si wanita India. Ternyata si wanita India pun juga mempunyai pecahan yang pas untuk dirinya, hanya tersisa uang pecahan besar dan 20.000 VND. Begitu juga dengan cowok dari Korea yang ada di belakang saya, yang hanya mempunyai pecahan pas untuk dirinya saja. Akhirnya, daripada kami nggak memberikan sepeser pun, saya meminjam uang 20.000 VND yang ditawarkan wanita India tadi. Saya pikir Ibu nelayan akan meminta kekurangannya 30.000 VND, ternyata nggak. Ah, syukurlah!
Saya pun berjanji kepada si wanita India tadi, kalau kami akan mengembalikan uangnya setelah kembali ke Kota. Si wanita India tadi (yang saya lupa namanya), menjawabnya dengan senyuman yang sangat ramah. *dalem hati* gila ya gue, udah di negara orang, baru kenal sesama wisatawan, eh nyusahin pula pakai minjem2 uangnya.
Nah di spot ini, juga sama seperti sebelumnya. Ada toko souvenir yang lagi-lagi isinya adalah kerajinan tangan yang sama persis seperti di Jogja, haha…. Namun tujuan utamanya di sini adalah melihat peternakan lebah, mencicipi madu, dan mendengarkan pementasan dari para penyanyi lokal. Ya mungkin kalau untuk mendengarkan musik tradisional Vietnam buat saya masih sedikit oke lah, tambah pengalaman dan pengetahuan lebih buat saya pribadi. Tapi kalau peternakan lebah, hmm…. Ya tau sendiri di Indonesia banyak banget yang beternak lebah.
Saya mencicipi teh hangat yang dicampur madu, yang ternyata rasanya enak, hahaha… Ide bagus buat bikin sendiri di rumah. Setelah melihat peternakan madu dan mencicipi madu, saya bergerak ke area selanjutnya untuk melihat pementasan dari para pemusik lokal. Nah sambil menikmati pementasan musiknya, kami disajikan buah-buah tropis untuk dimakan, yang lagi-lagi buah-buahannya sudah sangat sering saya makan di Indonesia. Saya duduk lagi bersama ketiga cowok dari Thailand tadi dan percakapan kami pun semakin seru. Tyas kemudian berbisik dengan saya, “ki, mau foto sama mereka ih”, kami pun berfoto dengan mereka.
|
itu kenapa yang dibelakang pakai orange juga sik! |
|
peternakan lebah |
|
mencicipi teh madu |
|
Royal Jelly + madu asli Vietnam |
Pementasan musik masih berlangsung di siang bolong yang super panas, dehidrasi pun tak terhindarkan. Saya melihat chiller yang berisikan berbagai macam minuman dingin. Uang 100.000 VND pun terpecah dan saya mendapatkan fanta sarsi lagi dengan harga 20.000 VND. Lalu, dengan pecahan yang saya dapatkan dari kembalian membeli minuman tadi, kami memberikan 15.000 VND untuk tip kepada penyanyi yang tampil dan nggak lupa mengembalikan 20.000 VND kepada si wanita India. Ketika saya bilang “Miss, thanks and sorry for that”, si wanita India dengan senyumannya menjawab “No, you don’t have to say sorry, ok”, ah baik sekali.
|
para pementas seni |
|
di Indonesia buanyak, haha |
|
mereka yang sangat humble... |
Pertunjukkan selesai, kami berlanjut menuju spot selanjutnya. Saya pikir kami akan kembali menaiki perahu nelayan yang digunakan di awal tadi, ternyata tidak. Kami harus berjalan menyusuri jalan sempit dan setapak, sampai pada akhirnya bertemu jalan besar. Di mana di sana sudah menanti belasan “dokar”, cielaaah dokar untuk membawa kami ke destinasi selanjutnya. Satu dokar bisa dinaiki sekitar 6 orang dan yang naik pun random, jadi kami berdua naik duluan ke dokar dan ternyata 3 cowok Thailand tadi masih dibawah. Kami pun menawarkan untuk naik bersama kami, mereka pun tersenyum dan senang mendapatkan ajakan dari kami.
Perjalanan nggak berlangsung lama, hanya sekitar 10 menit. Setelah sampai kami harus berjalan kaki lagi menuju dermaga, yang di mana kapal besar kami sudah menunggu. Masih ada satu spot lagi yang akan dikunjungi saat itu dan menjadi spot terakhir dari fullday tour Mekong Delta. Spot itu adalah pabrik pembuatan permen kelapa (coconut candy).
Saya sudah berencana dari awal kalau saya akan membeli permen tersebut untuk oleh-oleh, terlebih lagi ketika si tour guide memberikan informasi bahwa ada banyak rasa dari permennya, salah satunya disebutkan ada rasa cokelat! Saya pun semakin excited dan penasaran dibuatnya. Tetapi setelah sampai di sana dan setelah saya mencoba tester-nya, rasanya (*duh maaf banget, emang selera sih kalau urusan rasa), menurut saya aneh. Bukan rasanya nggak enak ya, tapi aneh teksturnya di lidah. Jadi, ekspektasi sebelumnya dari permen ini adalah keras seperti permen gula kacang ting-ting, tau kan? Tapi ternyata nggak, permennya punya tekstur lembek dan cenderung seperti dodol menurut saya. Ketika dikunyah ini permen sangat lengket dan nyangkut-nyangkut di gigi. Alhasil, saya pun mengurungkan niat untuk membelinya.
Oh ya, lagi-lagi ada hal yang lucu menurut saya. Jadi, di sini juga dijelaskan proses pembuatan permen tersebut mulai dari kelapa utuh sampai jadi permen. Nah, ketika si tour guide menjelaskan dan mempraktekkan langsung “memarut kelapa” pakai mesin parut (*itu lo mesin parut yang ada di pasar itu, yang berisik setengah mati). Nah kelapa-nya kan dimasukkan lewat atas dan keluar hasil parutannya dibawah. Bule-bule yang melihat prosesnya tiba-tiba kaget “whoaaaaa…yeaaaaa” sambil heboh-heboh sendiri tepuk tangan. Saya sama Tyas, berusaha kalem melihat mereka dari belakang, hehe.
|
naik dokar dulu yah, berasa di Parangtritis |
|
proses pembuatan permen kelapa |
|
ini dia permen kelapa yang nggak jadi saya beli |
|
proses pemotongan permennya masih manual |
|
suasana pabrik permen kelapa |
Tour selesai pada sekitar pukul 3 sore dan kami semua kembali menaiki kapal dan menuju dermaga besar di mana bus kami terparkir. Sampai di kota sekitar pukul 4 sore dan kami nggak diturunkan di depan kantor TheSinhTourist, kami diturunkan di tempat parkir bis dimana kami berangkat tadi pagi. Nah kebetulan banget, nggak jauh dari lokasi parkir bis ini adalah pasar. Mumpung hari masih belum gelap, it’s time for street food, yeaaah…!! Saya blusukan ke area pasar dan mencari camilan yang menarik buat kita coba. Lagi-lagi di sini susah bagi kalian yang nggak makan babi, karena hampir semua ada unsur babi-nya. Sampai saya bertemu dengan seorang penjual spring roll, yang dari kemarin penasaran buat mencoba rasanya. Pada saat kami sedang mengantre, ada seorang Ibu yang mengantre duluan tersenyum kepada kami dan si Ibu bilang “no pork?”. Saya pun sontak menjawab “oh, this is with pork?”, si Ibu menunjuk di etalase gerobak si abangnya, menunjukkan kepada saya babi yang menjadi campuran spring roll tersebut. Saya pikir ini street food bebas dari campuran pork sesuai yang saya baca di internet. Namun, karena saya sudah mengantre di depan gerobak abangnya, nggak enak juga nggak jadi beli. Tiba-tiba si ibu bilang ke kami “don’t worry, without pork, yes?”. Kemudian si Ibu menjelaskan ke si abangnya dengan bahasa yang nggak kami mengerti itu, dimana intinya, si Ibu memberitahukan kalau pesanan kami jangan diberikan campuran pork tadi. Ah si Ibu baik sekaliiii!!
Jadi springroll ini adalah sejenis lumpia kalau di Indonesia. Bagian luarnya terbuat dari tepung beras yang menjadi pembungkus, lalu ada selada, irisan bengkuang, dan ebi. Disantap dengan saus kacang yang terlihat lezat. Harga untuk satu springroll hanya 3.000 VND! Setelah mendapatkan jajanannya, kami berjalan sedikit ke depan untuk mencari tempat untuk kami menyantap jajanan tersebut. Ekspektasi saya rasanya sedikit ke-udang-an dan puncak rasanya ada di saus-nya. Gigitan pertama?!! Tidaaaaaaaaaaaaak..!!!! Saya ternyata bertemu lagi dengan dedaunan yang sama seperti di Banh Mi yang saya coba sebelumnya! Nooooooo..!!! Ini beneran nggak enak! Saya langsung lepeh dan saya buka springroll lainnya. Saya cari sumber rasa nggak enak itu, yang saya sendiri nggak sadar kalau ternyata springroll ini ada campuran daun hoek itu. Beneran asli saya nggak bohong, karena rasanya beneran nggak cocok di lidah dan Tyas pun juga mengatakan demikian. Impresi pertama makan street food Vietnam hancur lagi gara-gara daun aneh ituuuu…, arghhhh..!!!
|
yeaaah street food! |
|
namanya Bo Bia |
|
(kiri) ebi, (kanan) pork |
|
enak sebenernya, tapi kesan pertama yang gagal karena daun aneh itu |
Saya melanjutkan berjalan kaki, walaupun mulut masih terasa pahit dan aneh. Kami memutuskan untuk nggak kembali dahulu ke hotel, karena akan mencari makanan berat untuk perut yang sudah keroncongan setelah seharian ikut tour. Hampir 1 jam berkeliling, kami sama sekali nggak bisa menemukan makanan yang menurut kami nggak mengandung babi. Sebenarnya saya ingin sekali makan di pinggir jalan, duduk di “dingklik” kecil yang khas itu, bersama warga Vietnam lainnya. Tapi rata-rata yang dijual di sana adalah makanan dengan olahan babi. Saya penasaran, sampai saya memutuskan untuk berhenti di salah satu warung. Saya melihat-lihat dahulu sebentar dan kemudian saya memesan 2 mi dengan mengatakan “2 noodles without pork or meat”. Si Ibu mungkin nggak mengerti apa yang saya katakan, tetapi pasti si Ibu sudah notice kalau Tyas adalah seorang muslim karena menggunakan kerudung. Si Ibu berbicara agak sedikit panik dan kemudian (entah mungkin anaknya) yang menjelaskan dengan bahasa Inggris kepada saya. Dimana intinya kalau mereka bisa membuatkan makanan kepada kami dengan nggak menggunakan babi, tetapi mereka masih menggunakan peralatan dapur yang sama untuk memasak babi. Jadi mereka meminta maaf karena nggak bisa menyajikan makanan kepada kami. Waaah… that’s so kindly…!! Nggak hanya itu sebenarnya, kami ditunjukkan untuk masuk ke dalam gang kecil di sana, katanya ada warung makan yang nggak menggunakan olahan babi sama sekali. Tetapi setelah kami masuk dan mencari, kami nggak bisa menemukan warung makan yang dimaksud si anak dan Ibu penjual di depan tadi.
Okelah berhubung hari sudah mulai gelap, maka kami melanjutkan perjalanan kembali menuju city hall, dimana kami lebih terkagum-kagum lagi dengan keindahannya saat malam hari. What a such wonderful view….!! Indonesia doesn’t have view like this!! Indonesia doesn’t have view like this!! Kata itu terucap berulang kali di pikiran saya. Ini beneran keren dan saat itu sampai sekarang saya masih berpikir dimana saya bisa menemukan view seperti itu di Indonesia, khususnya di Jakarta?
Di depan city hall ini adalah ruang terbuka dengan pepohonan yang bermandikan cahaya lampu berwarna-warni. Anak-anak muda bermain hoverboard, skateboard, atau sekedar duduk bersantai di sini. Turis-turis berfoto dan anak-anak kecil pun riang bermain air mancur yang menyala berwarna-warni. Di sini juga benar-benar bersih, saya nggak menemukan sampah sedikitpun yang berserakan di sini. Mungkin mereka benar-benar sungkan ketika akan membuang sampah sembarangan di tempat yang bersih. Nggak hanya itu, hampir di setiap sudut area ini ada speaker yang mengeluarkan alunan musik-musik yang mungkin sedang hits di Vietnam saat itu.
Di sini, kami ternyata bertemu dengan wanita India saat di Mekong Delta tadi siang. Si wanita India sudah berganti baju dan tampak fresh. Sedangkan kami masih menggunakan pakaian yang sama seperti siang tadi, karena memang kami belum sempat pulang ke hotel, haha.. Setelah puas berfoto-foto dan karena ini malam terakhir di Saigon, maka kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke gereja Katedral di malam hari. Ternyata, di sana ada yang sedang beribadah dan suasana malamnya asyik banget. Semua orang duduk dan bersantai, sambil mengobrol satu sama lainnya. Lampu-lampu menyorot lekuk bentuk bangunan yang membuatnya semakin tampak indah.
|
city hall di malam hari |
|
bagus kaaan? |
|
bertemu si wanita India |
|
nyaman banget duduk-duduk disini |
|
opera hall |
Waktu semakin malam dan perut pun semakin kelaparan, daripada kami pusing mencari makanan seperti tadi sore. Maka kami memutuskan untuk mampir saja ke swalayan dan membeli mi cup instan yang bisa langsung diseduh di sana. Ya perut kenyang seadanya dengan porsi mi cup instan yang mungil, tapi nggak apalah. Ketika kembali ke hotel, kami melewati depan pasar Benh Thanh yang menjadi pusat keramaian di Saigon, di sana ada penjual street food yang sayang untuk dilewatkan. Kami berhenti dan membeli sebuah camilan seperti crepes yang terbuat dari telur. Bukan digoreng tapi dipanggang diatas bara api dan beneran enak banget ketika dimakan pas lagi hangat-hangatnya. Harganya pun hanya 10.000 VND aja buat satu porsi yang ukurannya lumayan besar.
Nah malamnya, saya diajak keluar oleh Terry. Kita keluar berdua buat sekedar ngobrol dan sharing satu sama lainnya. Bar lokal pun menjadi sasaran kami yang musiknya bener-bener jedak-jeduk nggak karuan. Ya kalau kalian yang pernah ke daerah Legian atau Trawangan di malem hari, kurang lebih suasananya sama seperti itu, cuma bedanya ini nggak di pinggir pantai. Sekitar 3 jam saya mengobrol banyak hal dengan Terry, yang ternyata Terry adalah seorang polisi di New Zealand. Kami berdua ngobrol sambil ditemani dengan sebotol “minuman lokal” di sana dan satu shot dengan jeruk nipis di dalamnya. *you know what I mean, yes?”. Sampai kami mengobrol hal-hal yang nggak jelas, kami pun penasaran dengan banyak wanita-wanita yang lalu lalang masuk keluar dari dan ke dalam gang kecil di depan bar ini. Sebelum pulang kami berdua kepo, memasuki gang-gang kecil untuk mencari tahu ke mana perginya wanita-wanita itu saat masuk ke dalam gang. Semakin dalam masuk, anehnya justru sama sekali nggak ada tanda-tanda keramaian dan keriuhan di sana, hmm… Kami putus asa karena nggak mendapatkan hasil yang kita ingin tahu, hahaha.. nggak penting beneran sumpah. Sekitar pukul 11 malam kami berdua memutuskan untuk kembali ke hotel dan beristirahat.
|
ada iklan Indomie |
|
jangan salah! ada kafe gaul di sini |
|
artis lokal Vietnam |
|
pak polisinya yang pakai krem, yang ijo nggak tahu deh apa |
|
suasana malam di Saigon |
|
ramainya bukan main! |
|
lucu ya tambal bannya |
|
berdoa di depan gereja Katedral |
|
berdoa dengan khusuk |
|
si Ibu penjual Banh Trang Nuong |
|
ah enak ini! |
PENGELUARAN
HARI KE-5
Tip
Nelayan: 20.000
VND
Keripik
Kelapa: 10.000 VND
Fanta: 20.000
VND
Tip
Penyanyi: 15.000 VND
2 Springroll:
6.000 VND
Air
Mineral Besar: 9.000 VND
Mi Cup +
Mineral Kecil: 15.000 VND
Martabak
Telor: 10.000 VND
Bar: 30.000
VND
TOTAL
PENGELUARAN: 135.000 VND
lanjut ke penutupan hari terakhir di Saigon
Comments
Post a Comment