[VIETNAM Hari ke-3] Explore White & Red Dunes, Fishing Village, & Fairy Stream Mui Ne, Vietnam Selatan
Hari ke-3
(Minggu, 8 Mei 2016)
Sunrise di Gurun Pasirnya Indochina, Kampung
Nelayan Para Penjual Hasil Laut Segar, Fairy Stream (Mini Red Canyon-nya
Vietnam)
Tidur di KLIA2 merem melek karena
kedinginan dan di sini hanya bisa tidur selama 4 jam saja. Pukul 4 pagi saya
sudah diwajibkan terbangun dengan mata sendu kemayu dan dengan badan
seperti zombie saat ingin pergi ke kamar mandi. Omaigaaat…!!! Ya,
karena setengah 5 pagi kami berdua akan dijemput oleh driver untuk
ikut private jeep tour Mui Ne. Benar-benar tepat setengah 5 pagi,
sang driver dengan mobil jeep besarnya sudah
menunggu di depan homestay kami. Sebenarnya agak nggak enak
memang karena kami menggunakan tour lain, dimana ternyata
homestay kami juga mempunyai paket tour Mui Ne dengan
spanduk yang sangat besar di dekat meja receptionist-nya.
Oh iya, saat pergi ke depan pagar
untuk memberitahukan sang driver agar menunggu sebentar lagi,
saya sebenarnya takut keluar kamar karena pemilik homestay mempunyai
2 anjing besar yang sepertinya memang ditugaskan untuk berjaga malam di sini.
Benar saja, setelah saya dilihat dengan tatapan mencurigakan oleh 2 anjing
penjaga itu, saya pun diikuti dengan jarak yang benar-benar dekat di belakang
saya sampai masuk ke dalam kamar, untungnya 2 anjing itu nggak menggonggong. Saat
semua sudah siap, saya celingukan terlebih dahulu apakah 2 anjing tadi masih
berada di depan kamar kami atau sudah pergi. Saat kondisi aman, kami berdua
keluar dan bertemu sang driver yang bernama Mr. Chou.
menembus suasana fajar di Mui Ne, Vietnam |
perjalanan pinggir pantai (like in Senggigi Lombok, haha)... |
Jarak dari penginapan yang berada di pusat keramaian Mui Ne sampai ke objek wisata White Sand Dunes memakan waktu sekitar 1 jam lebih perjalanan. Menerobos keheningan fajar menggunakan jeep dan disuguhkan pemandangan pinggir pantai dengan matahari yang masih tersipu malu untuk muncul di ufuk timur, menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Sekitar pukul 5:20 saya tiba di spot pertama dari private jeep tour ini, yaitu White Dunes. Jika ada yang sudah pernah ke Gumuk Pasir Parangkusumo di Kulon Progo mungkin banyak yang menganggapnya nggak jauh berbeda. Nah berhubung saya belum pernah ke Parangkusumo, jadi White Dunes Mui Ne ini menurut saya luar biasa indahnya, terlebih lagi pada saat momen matahari terbit. Saran terbaik kalau ingin berfoto di sini adalah mencari spot dengan permukaan pasir yang bersih, artinya nggak ada tumbuh-tumbuhan atau dedaunan kering apapun di sana. Kami diberi waktu selama 1 jam untuk menikmati pemandangan dan berfoto di White Dunes. Sebenarnya kalau punya sedikit uang lebih, kita bisa menyewa ATV untuk berkeliling seluruh area secara penuh. Namun karena kami traveler versi hemat, jadi kami memutuskan untuk berjalan kaki untuk menikmatinya dan itu pun menyenangkan!
Gurun Pasir di pesisir Laut Cina Selatan |
Jeep in Sahara... (bukan ding...haha apasih) |
Gatotkaca sampai Vietnam Selatan |
1 jam berlalu dan kami melanjutkan perjalanan menuju spot kedua yaitu Red Dunes. Di mana ternyata Red Dunes ini lokasinya lebih dekat dari Mui Ne, jadi tour ini dibuat untuk mendatangi spot yang jauh terlebih dahulu bukan sebaliknya. Sekitar 10-15 menit dari White Dunes menuju Red Dunes yang ternyata lokasinya terletak di pinggir jalan utama dan banyak penjual makanan di sini bagi mereka yang kelaparan di pagi hari. Red Dunes mempunyai wilayah/area pasir yang lebih kecil daripada White Dunes dan juga terlihat biasa saja menurut saya. Red Dunes mempunyai butiran pasir yang lebih besar dibandingkan butiran pasir White Dunes yang lebih lembut dan halus mirip seperti tepung. Jatah waktu yang diberikan driver di Red Dunes adalah 20 menit, namun saat masih tersisa waktu 5 menit kami memutuskan untuk meminta lanjut ke destinasi selanjutnya.
melanjutkan perjalanan ke Red Dunes.. |
Red Dunes... |
wussss....silau mbak?? |
Destinasi ketiga adalah destinasi yang paling menarik menurut saya, yaitu Mui Ne Fishing Village. Pemandangan laut dengan berbagai macam jenis kapal nelayan khas yang luar biasa indahnya. Saya turun ke bawah untuk melihat kehidupan para nelayan di sini, yang lagi-lagi memang nggak jauh berbeda dengan kondisi para nelayan di Indonesia. Tetapi ada satu hal yang membuat saya kagum dan nggak saya temukan di kampung nelayan atau tempat penjualan ikan mana pun di Indonesia. Nelayan di sini menjual berbagai hasil tangkapannya (ikan, udang, kerang, kepiting, dll) hidup-hidup menggunakan wadah baskom besar yang diisi air bersih dan gelembung udara! Hebat! Bandingkan di Indonesia yang rata-rata nelayan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) menjualnya dalam kondisi/keadaan sudah mati, walaupun memang sama-sama terbilang fresh dari laut.
kampung nelayan Mui Ne... Amazing right? |
kepitingnya beda |
para penjual hasil laut di kampung nelayan.. |
bulet-bulet lucuk... |
20 menit pun berlalu dengan cepat karena saking asyiknya mengamati para nelayan dan hasil laut yang ditawarkannya kepada kami. Kami pun bergerak menuju destinasi terakhir, yaitu Fairy Stream Suoi Tien (Mini Red Canyon). Hahaha… saya kaget ketika ditunjukkan pintu masuk akses menuju fairy stream ini, karena masuk melalui halaman samping rumah warga yang dijadikan warung. What! Lucunya lagi kita harus menyusuri sungai dangkal berpasir yang rasanya ini beneran Indonesia banget. Kita berdua pun saling guyon-guyonan “haha ini mah di kampung gue ada, yas”, “haha…yah kii, ini kayak main air di kali”. hahahahah… Sepanjang menyusuri sungai dangkal berpasir ini, lagi-lagi pemandangan khas Indonesia pun disuguhkan dengan hadirnya kerbau yang sedang asyik memakan rumput. Banyak turis asing terheran-heran dan menginginkan berfoto bersama kerbau tersebut. Dalam hati saya bergumam “yaelah, omegot tiap pulang kampung gue ketemu beginian”, “di rumah mbah buyut, malah gue yang ngasih makan itu kebo”. Jadi, fairy stream ini adalah semacam tempat keluarnya mata air dari tengah-tengah padang gurun. Keluarnya air tersebut kemudian membentuk sebuah pola unik pada bebatuan yang kapur di sana, sehingga hal itulah yang membuatnya menarik untuk dijadikan tempat wisata.
tuh kan kayak kali/sungai di Indonesia? haha.. |
menyusuri sungai.... |
Mini Red Canyon, people said.. |
Di sini saya [lagi-lagi] nggak sengaja bertemu dengan orang Indonesia. Saat sedang mengobrol dengan Tyas sembari asyiknya menyusuri sungai dangkal berpasir ini, kami berpapasan dengan 2 orang perempuan yang melihat aneh ke arah kami dan berucap “dari Indonesia ya?”, saya pun sontak “yes, Indonesia!”. Yaelaaaah udah pemandangan sama suasananya mirip di Indonesia, eh bertemu orang Indonesia juga di sini.
Nah, saat dalam perjalanan pulang, saya bertanya dan meminta kepada Mr.Chou untuk menunjukkan kepada saya lokasi kantor TheSinhTourist cabang Mui Ne. Karena saya pikir jarak dari homestay menuju kantor TheSinhTourist masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki, namun ternyata sedikit cukup melelahkan jika di siang hari kami harus berjalan kaki menuju kantor tersebut, karena lokasinya lumayan jauh.
Kami kembali ke homestay masih sekitar pukul 9:30 pagi saat itu. Kami sudah merencanakan sepulang dari tur akan menyambangi sebuah warung es krim gelato di dekat homestay. Nggak disangka ternyata apa yang kami harapkan pupus sirna karena warung gelato tersebut masih tutup, padahal waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 10:00 pagi. Suasana terbilang sangat sepi di sini yang notabene-nya adalah daerah wisata, toko-toko masih tutup semua dan jalanan pun masih lengang dari kendaraan bermotor. Berbanding terbalik kalau kita melihat daerah Legian/Kuta di Bali bahkan Senggigi di Lombok yang pukul 8 pagi pun sudah banyak aktivitas di sana.
Kami pun menyusuri trotoar untuk mencari warung apapun yang sudah buka di sini, saat kami hampir putus asa ternyata ada satu warung yang sudah buka di sini. Dari niat awal kami yang memang ingin mencari es krim karena suhu udara Mui Ne yang amat sangat panas memang, kami pun membuka etalase kaca freezer es krim di sana. Saya membeli es krim dan Tropicana Twister seharga 55.000 VND. Nikmat yang tak tergantikan saat bisa menikmati es krim di pinggir jalan, duduk di depan warung yang belum dibuka, di tengah teriknya panas matahari pagi yang menyinari Mui Ne saat itu. Tiba-tiba datang seorang Ibu penjual menggunakan caping yang menjajakan makanannya kepada kami dengan ramah. Kami pun melihat apa yang dijual, ternyata si Ibu menjual jajanan yang sempat akan kami coba di Red Dunes. Saya pun bertanya berapa harga satu kotak makanannya kepada si Ibu menggunakan bahasa Inggris, si Ibu mengerti maksud saya namun menjawab dengan cara menunjukkan lembaran uang sebesar 15.000 VND.
Namanya adalah Bánh Bột Lọc Nhân Tôm Thịt, hahahahah susah ya.. (emaaang, ini aja nyari setengah mati di internet namanya apa). Jadi ini adalah jajanan pinggir jalan (street food) yang katanya harus dicoba kalau berkunjung ke Mui Ne. Jadi makanan ini terbuat tepung aci (tepung tapioka) yang direbus dan diisi ebi (udang kecil), disajikan bersama kuah minyak berbumbu yang rasanya gurih. Ditaburi semacam daun bawang dan potongan cabai untuk membuat rasanya sedikit pedas, enak!!
Ada hal yang menarik perhatian saya di sini yaitu wadah pembungkus jajanannya, berupa seperti kotak tupperware. Pada awalnya saya memang sedikit ragu, apakah kotak penyajiannya kami harus kembalikan lagi ke sang penjual atau bisa kami bawa pulang. Ternyata kotaknya ini memang untuk dibawa pulang dan hebatnya lagi adalah kotak ini microwave safety plastic, jadi bisa digunakan untuk menghangatkan makanan pada microwave. Ini sungguh street food yang rasanya enak dan sangat murah. Bayangkan dengan harga 15.000 VND atau sekitar 9.000 Rupiah, kami bisa mendapatkan jajanan enak sekaligus beserta wadah plastik microwaveable-nya.
sepiiii... |
Ibu penjual... |
ini enak ternyata! |
Saya check-out tepat waktu pada pukul 12 siang dan kami pun berdiri di pinggir jalan untuk siap mencegat taksi atau bis (kami akan naik, siapa yang lewat terlebih dahulu). Ternyata bis umum lah yang tampak terlihat duluan dari kejauhan dan kami pun naik bis umum tersebut. Saat si kondektur menagih uang, saya mengatakan ingin turun di depan Hotel Dinasti, yang menjadi resort bintang empat cukup besar di dekat kantor TheSinhTourist. Lagi-lagi sang kondektur nggak mengerti bahasa Inggris dan ketika itu bis cukup ramai dengan penumpang yang sontak langsung melihat kami semua saat saya terlihat kebingungan. Saya mengeluarkan sejumlah pecahan VND dan sang kondektur langsung mengambil beberapa lembar diantaranya, saya ingat betul diambilnya pecahan sejumlah 12.000 VND untuk 2 orang, murah meriah!
Setelah sampai dan saat kami menunggu bus di depan kantor TheSinhTourist, lagi-lagi nggak sengaja bertemu sapa dengan orang Indonesia. Saya berkata “dari Indonesia?” kepada 2 perempuan di sebelah yang sedang asyik mengobrol menggunakan bahasa Indonesia. Obrolan pun berlangsung seru antara saya dan mereka yang ternyata sama-sama ingin kembali ke Saigon. Kami akan menggunakan sleeper bus untuk perjalanan 4-5 jam menuju Ho Chi Minh City dan ini pertama kalinya saya mencoba sleeper bus. Naik sleeper bus ternyata super nyaman dan perjalanan 4-5 jam pun nggak terasa melelahkan. Kami diharuskan untuk melepas alas kaki dan diberikan kantong plastik oleh sang sopir untuk menyimpan alas kaki kami. Waw, istimewa! Ada sekitar 35 seat dalam satu sleeper bus ini dan saya mendapatkan nomor 33 yang berada di atas. Panjang alas kasurnya sudah dibuat dengan ukuran “bule”, jadi memang cukup panjang dan besar untuk bisa digunakan oleh orang Asia. Saya bisa tidur siang dengan nyenyak saat itu, lumayan untuk sedikit mengurangi rasa lelah yang ada, halah.
ada wi-finya! And it works! |
nyaman banget! |
Memasuki Kota Saigon, kerumunan motor pun mulai banyak terlihat. Kami tiba sekitar pukul 6 sore dan langsung mencari dimana letak dari Pink Tulip Hotel. Kalau menurut peta, lokasinya hanya berbeda blok jalan dari kantor TheSinhTourist. Namun, pada kenyataannya mencari lokasi tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan sebelumnya. Kami berdua berulang kali salah jalan, sampai pada akhirnya kami menemukan lokasinya. Kami disambut ramah oleh seorang “bule” yang melayani proses check-in sampai selesai, yang ternyata pembayaran dilakukan setelah kita akan check-out, review Pink Tulip Hotel ada di sini.
Saya beristirahat dan merebahkan badan sejenak, walaupun perut lagi-lagi sudah memanggil-manggil untuk diurusi. Makan malam kali ini menjadi tujuan utama kami yaitu mencoba Pho…, ayeeeee…!!! Kami mencoba Pho2000 yang terkenal seluruh antero Vietnam dan katanya Presiden Bill Clinton pernah makan di sini. Lokasi Pho2000 ini berada di pojoka, di ruko samping pasar Ben Thanh. Harus jeli melihat papan nama Pho2000 karena lokasinya ada di lantai 2 dari sebuah bangunan yang lantai dasarnya adalah The Coffee Bean.
Aroma khas Pho langsung menyeruak saat membuat pintu restorannya di lantai 2 dan kami mendapatkan kursi tepat di pinggir jendela yang menghadap jalan raya. Saat membuka menu, Pho2000 nggak hanya menyajikan hidangan Pho aja, namun ada berbagai jenis menu lain khas Vietnam yang juga menarik untuk dicoba. Saya memesan Pho ukuran jumbo dan Tyas memesan porsi reguler, ditambah 2 gelas minuman ice yoghurt untuk menemaninya. Saat sang pelayan mengantarkan menu pesanan ke meja kami, kami berdua pun terbelalak kaget sekaget-kagetnya karena melihat ukuran mangkuk Pho Jumbo yang luar biasa besarnya. Mungkin kalau di Indonesia ini mangkuk semacam baskom buat mandi kali ya…. Satu porsi Pho ukuran jumbo saya tebus sebesar 80.000 VND, berarti sekitar 48.000 (sama seperti harga ramen di Jakarta pada umumnya), muraaaah kan!! Rasanya? Jangan ditanya, ini enak banget dan nagih (bahkan pas saya menulis ini jadi pengen lagi). Ada berbagai macam saus, kecap, dan bumbu pelengkap di hadapan saya, namun karena rasa kuah dari Pho ini udah super enak, jadi saya nggak mau merusaknya karena mencampurnya dengan saus-sausan itu. Tetapi saya mengambil beberapa potongan cabai untuk memberikan sedikit rasa pedas pada kuah Pho-nya dan sedikit taoge rebus matang sebagai campurannya. Oh iya, satu lagi yang nggak akan pernah saya ambil yaitu berbagai dedaunan aneh yang disajikan terpisah dengan Pho ini, nope, thank you!
restoran Pho2000 |
bandingkan ukurannya! |
jangan pake tisunya ya, bayar tuh! |
Perut kenyang, kami pun melanjutkan untuk mencari oleh-oleh, walaupun memang masih terlalu awal karena kami masih punya 3 hari di sini, tapi nggak apa-apa. Di luar pasar Ben Thanh kalau malam dipenuhi oleh tenda-tenda para penjual kaus, souvenir, makanan khas, kopi, dll. Saya sudah membaca banyak blog tentang tips mencari oleh-oleh di Saigon, yang mengharuskan untuk bisa menawar sadis bahkan sampai setengah harga dan itu terbukti. Pada awalnya ada salah satu pedagang yang menawarkan kepada saya satu set gantungan kunci (isi 10) dengan harga 150.000 VND (sambil menunjukkan angka di kalkulator miliknya), saya pun dengan isengnya mengetikkan 70.000 (sambil mengembalikan kalkulator milik Ibu penjualnya). Si Ibu pun tersenyum (sembari menepuk-nepuk pelan tangan saya) dan mengatakan kepada saya “no..no..no…”. Penawaran berlangsung sedikit alot memang (ya nggak jauh beda lah ya, kalau liat emak2 nawar di tanah abang/pasar senen), tetapi si Ibu pun setuju dengan harga awal yang saya tawar sebesar 70.000 VND karena saya bilang “I’ll take 11 set!”. Gotcha! Saya mendapatkan 11 set gantungan kunci (berarti isi 110 gantungan) dengan harga 770.000 VND. (Milik Tyas 4 set dan saya 6 set). Saat ingin pergi, kami pun diberikan bonus sebuah magnet kulkas lucu untuk dibawa pulang. Ah, thanks!
Pencarian kami selanjutnya adalah kaus, lagi-lagi kami iseng menyambangi salah satu penjual dan bertanya berapa harga untuk 1 kausnya. Mba-mba penjual yang saya tanyai menjawab dengan super heboh “yess..yess..ringgit or dollar?”, wahahahah.. dikiranya kami ini orang Malaysia (memang karena Tyas berkerudung dan hampir rata-rata pendatang muslim di sini kebanyakan dari Malaysia). Saya pun meminta harga mata uang VND dan diberilah harga 100.000 VND untuk satu kaus. What mahal gila! Saya pun berbisik kepada Tyas dan berencana pergi dari tempat penjual kaus itu. Belum selesai bicara, tangan saya pun langsung dipegang dan ditarik untuk melihat lagi harga pada kalkulator si mba-mba gengges ini. (sumpah ini mba-mba super heboh banget) “slowly…slowly…I give you bla..bla…bla”, “yess…yess don’t worry, I give you best price..”, …………………….(berisik dah pokoknya!) Lucunya adalah sebenarnya kami kehabisan VND untuk membeli 12 potong kaus (saya 5, Tyas 7), jadi maka itu kami tadinya memutuskan untuk pergi saja dan membelinya di kemudian hari. Bukannya kami nggak cocok dengan harga yang ditawarkan si mba-mba heboh ini. Saya pun bertanya apakah menerima dollar atau nggak dan ternyata mereka juga menerima dollar. Tawar menawar pun kembali sengit antara saya dan si mba-mba heboh, sampai pada harga akhir (hanya 30.000 VND atau sekitar 28.800 Rupiah untuk satu kausnya), hahahahahah…!!!
Pasar Ben Thanh dari kejauhan.. |
tuh tuh tuh mba-mba heboh! |
gantungan kuncinya lucuk! |
PENGELUARAN HARI KE-3
Uang Tip Driver Mui Ne: 50.000 VND (udah dibagi 2)
Es Krim + Minuman Jeruk: 55.000 VND
Street Food Mui Ne: 15.000 VND
Bis Kota: 6.000 VND
Pho Porsi Jumbo: 80.000 VND
Ice Yoghurt: 18.000 VND
60 pieces Gantungan Kunci:
420.000 VND
5 Potong Kaos: 150.000 VND
TOTAL: 794.000 VND
Comments
Post a Comment