[VIETNAM Hari ke-2] Menempuh Perjalanan Darat 4 Jam dari Saigon ke Mui Ne!
Hari ke-2 (Sabtu, 7 Mei 2016)
Memakai Batik di Negeri Orang, Perjalanan Bis Layaknya
Pulang Kampung, Rasa Dedaunan Aneh!
Sekitar pukul 05:30 pagi waktu
Malaysia, akhirnya ruang tunggu menuju boarding gate dibuka.
Saya yang sudah menggigil kedinginan saat mencoba tidur di sini pun akhirnya
bergegas masuk melalui proses pengecekan barang yang kedua kalinya di sini.
Pesawat menuju Ho Chi Minh City berada di gate L3 yang untungnya
nggak terlalu jauh jaraknya dari proses scanning barang, namun
lagi-lagi saat itu saya masih harus menunggu dengan kondisi AC yang juga masih
super dingin, duh biyung.
Oh iya, kami punya rencana yang
unik dan sudah di gagas jauh-jauh hari yaitu berganti pakaian batik saat
penerbangan menuju Saigon dan itu terlaksana. Tetapi sebelumnya, kami ingin
mandi dulu di KLIA2, karena membaca beberapa blog menyebutkan ada
fasilitas shower gratis di sini. Namun, sama seperti Nyonya
Colors, bahwa posisi fasilitas shower gratis itu ternyata berada
di area terminal keberangkatan sebelum imigrasi. Kami pun memutuskan untuk nggak
pergi ke sana, mengapa? Karena menurut sejumlah sumber bahwa antrean
pemeriksaan imigrasi di KLIA2 ini super panjang. Jadi daripada kami tertinggal
pesawat, maka kami pun memutuskan untuk sikat gigi dan menggunakan parfum saja
saat itu di toilet yang terdekat.
Ada hal lucu saat saya sudah
berganti pakaian menggunakan batik, semua orang yang sedang menunggu di kursi
tunggu depan kamar mandi tiba-tiba semua melihat saya dengan tatapan aneh. Bukan
karena saya menggunakan batiknya, tapi mungkin mereka mengira ini orang mau
pergi umroh kali ya? Huahahahaha…. Betul saja memang, kami berdua mempunyai
warna batik yang mirip ini, jadi seolah-olah kami ini seperti rombongan jamaah
haji dengan pakaian batik dari Indonesia. Hahahaha….
Saya membeli kursi AirAsia seharga 20.000 Rupiah untuk penerbangan Kuala Lumpur menuju Ho Chi Minh City, karena memang mengincar kursi di sebelah jendela. Alhasil, saya dan Tyas pun nggak duduk bersebelahan seperti pada penerbangan sebelumnya. Pada malam harinya, Tyas sempat mengatakan kepada saya “Ki, tadi pas mendarat di KLIA2 liat kebun kelapa sawit yang luas banget nggak?”, karena kondisinya malam hari jadi saya pun nggak bisa melihat apapun saat pendaratan di KLIA2 semalam. Baru pagi ini saat terbang dari KLIA2 menuju Ho Chi Minh City, saya bisa melihat dengan jelas betapa luasnya kebun kelapa sawit di sekitar area KLIA2 ini. Bukan hanya luas, namun penataan area kebun yang sangatlah rapi, salut!
Penerbangan dari Kuala Lumpur menuju Ho Chi Minh City ditempuh selama 2 jam dan sekitar pukul 8 pagi waktu setempat (Saigon), kami pun mendarat di Tan Son Nhat International Airport. Terbayang akan chaos-nya lalu lintas jalanan Saigon akan kendaraan roda dua (motor), ternyata sudah saya lihat dari atas pesawat sebelum mendarat. Ada satu jalan besar yang hampir seluruh bagian badan jalannya dipenuhi dengan motor dan dari atas terlihat seperti koloni semut yang akan mengerubungi gula.
siap terbang menuju Saigon dari KLIA2 |
kebun kelapa sawit yang luas dan rapi |
KLIA2 terlihat dari atas udara |
seperti gerombolan semut! |
Setelah turun dari pesawat yang menggunakan jembatan, bukan menggunakan bis seperti di Indonesia, kami harus melewati bagian pengecekan Imigrasi Vietnam. Tetapi saya baru ingat apa yang dikatakan Tyas sebelumnya, bahwa nanti di pesawat akan diberikan sebuah formulir pendataan imigrasi dari pemerintah negara yang akan dikunjungi (berarti dari pemerintah Vietnam). Namun Tyas bergumam dan heran mengapa dalam penerbangan ke Ho Chi Minh City nggak diberikan kertas formulir semacam itu? Kami pun nggak terlalu memikirkan hal tersebut, karena memang mungkin pengawasan menuju Ho Chi Minh City tidaklah ketat seperti negara lainnya.
Saat sedang mengantre pemeriksaan imigrasi, tiba-tiba di belakang kami ada yang mengucap pelan “Dari Indonesia ya mas, mbak?” sahut 2 wanita berkaus cerah dan bercelana pendek. Jadi mereka menyapa kami, karena saya baru ingat kalau masih menggunakan baju batik yang seperti jamaah haji Indonesia ini. Mereka pun mengatakan demikian bahwa batik yang kami pakai adalah batik corak Indonesia, bukan batik milik Malaysia. Kami pun mengobrol satu sama lain sembari menunggu antrean imigrasi yang cukup panjang dan lama. Mereka berdua berasal dari Bali yang juga ingin berlibur di Vietnam. Ada pertanyaan satu sama lain yang cukup menggelitik, “mas/mbak kenapa milih Vietnam buat liburan?”, kami pun menjawab dengan sedikit canggung dan bingung “karena jarang aja orang Indonesia yang mungkin berlibur di sini” dan mereka pun meng ‘iya” kan jawaban kami. Haha..
Setelah lolos dari pemeriksaan Imigrasi, kami berdua langsung mencari tempat penukaran uang di bandara. Mengapa harus di bandara? Ya, menurut banyak saran dari para traveler lainnya, bahwa menukar uang dengan rate terbaik adalah di bandara negara setempat yang kita kunjungi. Penukarannya dari Dollar ya bukan dari Rupiah, jadi kami menukar Dollar ke Vietnamese Dong (VND) di sini. Sebelumnya Rupiah sudah ditukarkan oleh Tyas menjadi Dollar dan Ringgit di salah satu money changer dengan rate terbaik dan terpercaya di Bandung.
Kami berdua sempat bingung memilih money changer mana yang menawarkan rate terbaik di sini, akhirnya kami memutuskan untuk menyambangi Eximbank yang mempunyai banyak stand counter di bandara ini. Kami berdua menukarkan total 250 USD dan jika sudah ditukarkan menjadi 5.576.875 VND untuk hidup berdua selama 5 hari di Saigon. Jadi masing-masing dari kami mempunyai sekitar 2.788.437 VND (125 USD) (*tergantung kurs saat itu 7 Mei 2016). Kami merasa kaya di sini!!!
Setelah penukaran uang selesai, kami pergi ke salah satu counter provider kartu SIM Card. Lokasinya masih satu deretan dengan jajaran counter money changer. Sebenarnya ada banyak pilihan provider yang bisa kita gunakan, seperti Mobifone, Vinaphone, Satsco, dll. Namun karena saya melihat counter Vinaphone lah yang paling ramai antreannya, saya mempercayakannya dengan membeli kartu SIM seharga 100.000 VND dengan kuota sebesar 5 GB Unlimited, murah bukan!!?? Kartu SIM terpasang dan sinyal HSDPA Internet pun sudah berjalan, kami pun bergegas keluar untuk menuju kota. Sebelumnya, kami ingin berfoto di depan papan tanda “Selamat Datang di …………..” sebagaimana selayaknya bandara-bandara pada umumnya. Namun setelah kami berputar mencari ternyata di Tan Son Nhat International Airport ini nggak ada papan tanda kedatangan seperti itu, ah sangat disayangkan.
Untuk bisa menuju kota dari Bandara ada 2 pilihan yang paling mudah, pertama menggunakan taksi dan kedua adalah naik bus umum. Taksi yang di rekomendasikan adalah Vinasun Taksi dengan harga sekitar 100.000 VND bahkan bisa lebih jika lalu lintas padat, bukan gue banget ini mah, haha. Saya memutuskan untuk menggunakan bus umum 152 dengan biaya 5.000 VND saja, murah kan? Bayangan saya sebelumnya adalah menaiki bus kota tanpa AC dengan kondisi seadanya, saya sudah siap akan hal itu namun ternyata semua itu salah besar. Bus umum 152 dari Bandara ke kota HCMC (begitu juga sebaliknya), menurut saya bagus dan terbilang masih dalam kategori nyaman, karena ada AC yang berhembus di teriknya matahari kota Saigon. Destinasi terakhir bis 152 ini adalah terminal di depan pasar Benh Thanh, jadi masih strategis dan mudah untuk akses ke mana pun ketika menginap di Ho Chi Minh City.
Sampai di kota sekitar pukul 11 siang dan langsung bergegas menuju TheSinhTourist. Jadi jauh-jauh hari saya sudah membaca rekomendasi tour di berbagai blog, bahwa TheSinhTourist lah yang paling murah dan terpercaya di Vietnam, review-nya di sini. Saya langsung duduk manis di depan meja pelayanan di kantor TheSinhTourist dan ada hal yang menarik buat saya. Jadi, saya mengurusi semua pembelian paket tour dan tiket bis, mau nggak mau harus berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Namun, ternyata saya sedikit kesulitan untuk mengerti apa yang dikatakan si receptionist, karena berucap Bahasa Inggris dengan aksen Vietnam yang diseret, oh god!
Percakapan demi percakapan, pertanyaan demi pertanyaan terlontarkan dan terselesaikan. Akhirnya saya mendapatkan semua apa yang dibutuhkan selama 5 hari di Ho Chi Minh City.
1. Tiket Bus Saigon – Mui Ne : 198.000 VND (@99.000 VND)
2. Tiket Bus Mui Ne – Saigon : 238.000 VND (@119.000 VND) Sleeper Bus
3. Paket Tour Sand Dunes Mui Ne : 599.000 VND (@299.500 VND) Private Jeep
4. Paket Tour Cu Chi Tunnel : 178.000 VND (@89.000 VND)
5. Paket Tour Mekong Delta : 338.000 VND (@169.000 VND)
TOTAL SEMUA : 1.551.000 VND (775.500 VND/orang)
Kami membeli semuanya sekaligus saat itu juga, karena untuk memudahkan kami di kemudian hari tanpa harus bolak-balik ke kantor TheSinhTourist lagi. Hampir 1 jam saya berurusan dengan tiket-tiket ini dan perut pun sudah nggak bisa diajak berkompromi lagi karena memang terakhir hanya diisi Nasi Briyani saat transit semalam. Kami mencari di sekitar jalan Bùi Viện dan singgah di sebuah warung dengan kursi “dingklik” kecil di sana, di mana kalau di Indonesia kursi seperti ini dibuat untuk mencuci baju atau mencuci piring oleh Ibu-Ibu di rumah, haha..
Di warung kecil ini saya melihat papan menu di etalase kacanya bahwa ada campuran “pork” nya. Namun ternyata setelah kami melihat buku menunya, mereka juga menyediakan menu lain tanpa “pork” di masakannya seperti daging ayam, daging sapi, dan seafood. Kami pun mencari aman dan belum berniat memesan yang aneh-aneh dan memesan nasi goreng daging sapi dan air mineral seharga 25.000 VND + 10.000 VND, berarti jika di Rupiah kan hanya sekitar 15.000 saja untuk nasi gorengnya dan sekitar 6.000 untuk air mineralnya.
Makan siang duduk di “dingklik” kecil pinggir jalan, melihat banyaknya motor mobil lalu lalang plus suara klaksonnya, pemandangan bangunan-bangunan rapat dengan kabelnya yang semrawut, ditambah panasnya cuaca tengah hari kota Saigon menjadi pengalaman yang nggak terlupakan bagi saya pribadi. Di meja makannya tersaji berbagai macam sambal, cabai, dan kecap untuk menambahkan rasa pada makanan yang kami pesan. Sayang dong sudah jauh-jauh sampai Vietnam nggak mencoba hal-hal yang nggak ada di Indonesia. Satu persatu saya mencoba rasanya dan (dyaaaarrr) ternyata semua rasanya nggak cocok di lidah. Pertama adalah potongan-potongan cabai besar yang rasanya asam kecut, kedua adalah bawang putih potong dengan kuah asam yang lagi-lagi rasanya aneh, ketiga adalah sambal yang isinya minyak dengan rasa yang hambar. Kecap asin dan sausnya menurut saya masih masuk di lidah sih walaupun memang masih ada rasa anehnya sedikit, haha.
berbagai menu dengan campuran "pork" |
duduk di "dingklik" kecil |
nasi goreng selayaknya nasi goreng biasanya... Haha |
berbagai sambal dan cabai tambahan yang rasanya aneh... |
kabel-kabel yang njliwet.... |
Perut kenyang dan berhubung kami akan menempuh perjalanan selama 3-4 jam menuju Mui Ne, maka kami menyempatkan untuk membeli jajanan di CircleK dekat dengan kantor TheSinhTourist. Nah, saat sedang mencari-cari camilan apa yang murah untuk dibeli, di sini saya menemukan PopMie dan Richeese Nabati dari Indonesia, hahaha. Saya pikir mereka memproduksi ulang di sini dengan bahasa lokal, namun setelah di lihat kemasannya ternyata masih berbahasa Indonesia, hoho. Saya membeli chiki yang bertuliskan Indo Chips (yaelah kii, jauh-jauh ke Vietnam makannya kerupuk udang juga), haha. Saya juga membeli minuman yang enak dan sepertinya nggak ada di Indonesia, namanya Leo Salted Lemon Mineral. Jadi rasanya ini seperti spr*te karena bersoda dengan rasa lemon, tapi ada rasa asinnya sedikit yang membuat minuman ini berbeda dengan yang lainnya, enak deh.
kerupuk udang! :( |
Saat saya menunggu kedatangan bis yang saya pikir telat 1 jam dan saya sudah hampir gondok karenanya, ternyata memang saya yang salah melihat waktu. Jam tangan saya masih menunjukkan waktu Malaysia yang lebih cepat 1 jam daripada waktu Saigon, jadi intinya bis ke Mui Ne datang dan berangkat dengan tepat waktu pada pukul 1 siang. Bis yang digunakan adalah milik TheSinhTourist itu sendiri dan seperti sebagaimana layaknya bis pada umumnya, nggak ada yang spesial menurut saya. Perjalanan ditempuh selama 4 jam lamanya, kalau di Indonesia mungkin seperti jarak dari Jakarta menuju Cirebon/Tegal melalui jalur pantura. Memang benar, saya pun merasakan jalanan menuju Mui Ne dari Saigon ini seperti jalur pantura, panas dan gersang. Kami berhenti sejenak selama 20 menit di salah satu tempat peristirahatan dan saya menyempatkan membeli minuman dingin berlabel Tropicana Twister rasa jeruk seharga 15.000 VND.
Memasuki daerah Mui Ne barulah semakin banyak kehidupan dan nuansa tepi pantai pun semakin terasa. Banyak kafe dan hotel yang menawarkan suasana pemandangan laut dan pinggir pantai. Kalau yang sudah pernah ke daerah Senggigi di Lombok, suasananya mungkin nggak jauh berbeda. Kami pun tiba di Mui Ne sekitar pukul setengah 6 sore waktu setempat dan ternyata kami diantar sampai depan penginapan. Penginapan sudah kami pesan jauh-jauh hari melalui booking.com, yang kami dapatkan seharga 230.000 VND (sekitar 140.000 Rupiah per malam), baca review-nya di sini. Ada hal lucu lagi saat saya bertemu dengan pemilik guesthouse yang ternyata nggak fasih berbahasa Inggris, bahkan kata-kata dasar bahasa Inggris yang umum digunakan. Kami sempat kebingungan saat pemilik guesthouse mengatakan satu kata kepada kami dalam bahasa yang nggak jelas, kami berdua saling tatap mata karena kebingungan. Akhirnya, saya berinisiatif mungkin si bapak ingin meminta pembayaran di muka sebelum kami masuk ke dalam kamar. Tyas pun mengeluarkan uang sejumlah total biaya di sini semalam, si bapak menerimanya dan kemudian tersenyum pergi meninggalkan kami di depan kamar. (Oalaaaah si bapak minta pembayaran to…capedeee). Kami pun beristirahat sejenak merebahkan badan sebelum kami keluar untuk mencari makan malam.
Pukul 7 malam kami memutuskan untuk keluar mencari makan di sekitar penginapan yang ternyata nggak semudah yang dibayangkan. Mudah bagi kami kalau kami mempunyai uang lebih dari budget yang sudah ditentukan untuk makan, karena di sini lebih banyak warung dan restoran seafood di sepanjang pantainya. Saya pun sesekali berhenti dan melihat buku menu yang dipajang di depan restoran-restoran tersebut, harganya memang standar seafood indonesia (berkisar 40.000– 100.000 Rupiah). Kami berdua berdiskusi bahwa kami bisa saja makan seafood di sini, namun resikonya akan timbul di hari berikutnya yang mengharuskan kami makan super hemat. Kami pun akhirnya memutuskan untuk nggak gegabah, terlebih karena masih hari pertama di Vietnam dan masih ada 4 hari lagi yang harus kami jalani.
Setelah menyusuri sepanjang trotoar, kami nggak sengaja menemukan penjual Banh Mi. Bagi yang belum tau, Banh Mi ini adalah semacam sandwich namun yang melapisinya bukan roti tawar, melainkan baguette (roti khas Prancis). Kami nggak berpikir panjang dan langsung menyambangi penjual Banh Mi yang sekaligus toko kelontong di sana. Saya pun minta dibuatkan 2 porsi untuk dibungkus dan saya tahu sebelumnya kalau Banh Mi ini sejatinya menggunakan isian daging babi. Maka terlebih dahulu saya bertanya dan mengatakan kepada si Ibu penjual “this is beef or pork?”, namun si Ibu sepertinya nggak mengerti bahasa Inggris dan menjawab “yes, yes…this is meat”. Sembari saya melihat kotak berisi daging yang ditunjukkan oleh si Ibu dan saya dengan agak sedikit ragu menjawab “okay..I want two”.
Ketika si Ibu penjual membuatkan Banh Mi, kami memilih camilan di toko kelontong milik si Ibu apa yang sekiranya cukup mengenyangkan untuk esok hari. Karena kami akan berangkat mengikuti private jeep tour Sand Dunes pada pukul 4 pagi, terlebih kami juga nggak mendapatkan sarapan dari penginapan. Setelah mendapatkan camilan dan air mineral, Banh Mi seharga 15.000 VND siap saya bawa pulang untuk disantap di penginapan dengan penuh rasa penasaran. Setelah sampai penginapan, cuci tangan, dan siap mencoba rasa Banh Mi ini seperti apa. Ekspektasi saya mungkin nggak jauh berbeda seperti sandwich pada umumnya. Gigitan pertama, biasa saja karena masih di ujung roti baguette-nya. Gigitan kedua, hmmm rasa dagingnya aneh ya tapi so far enak sih. Gigitan ketiga, mulai kena saus yang rasanya juga sedikit aneh. Gigitan keempat, tetooooot!!!! Ho******kk!!! Tidaaaaaaak!!! Apa yang saya makaaaaan!!! Saya langsung lepeh dari mulut dan melihat apa yang saya kunyah barusan. Ternyata sumbernya berasal dari salah satu daun pelengkap isian Banh Mi ini! Rasanya benar-benar nggak enak dan aneh di lidah saya, begitu juga dengan aromanya. Saya pun membuka Banh Mi dari gigitan yang tersisa dan ternyata masih ada daun nggak enak itu di dalamnya. Dengan penuh rasa sedih dan duka saya mengambil itu daun dan membuangnya ke tempat sampah.
Saat itu Tyas sedang berada di kamar mandi selagi saya mencoba Banh Mi dan mendapatkan zonk di dalamnya. Setelah Tyas keluar dari kamar mandi, dia langsung mengatakan kepada saya “Gimana ki rasanya, enak?”. Saya menjawab pertanyaan Tyas dengan muka datar, padahal di lidah masih terasa pahit dan aneh dari rasa daun itu, “Coba aja dulu ya”. Raut muka Tyas pun berubah aneh dan penuh tanda tanya, hahaha.. Saya dengan antengnya pasang muka tenang lagi dan duduk manis di atas kasur menonton TV, sembari melihat Tyas yang akan mencoba Banh Mi tersebut. Saya pun sudah siap-siap menahan tawa saat si Tyas sudah menggigit dan mengenai dedaunan itu. Tetooot!! Ternyata si Tyas lebih zonk karena mengenai dedaunan itu di gigitan pertamanya “&*^$%#^%%*%^&%^#... Ekiiii kok rasanya aneeeh” Hahahahahaha….. Saya tertawa karena si Tyas bisa merasakan apa yang saya rasakan barusan, karena kalau saya beri tahu terlebih dahulu pastinya si Tyas akan memisahkan daun tersebut dan membuangnya. Hahahahahha….
tuh tuh dedaunan yang rasanya omegoyttt!! |
sprite made in Vietnam |
astornya enak lo ini rasa jeruk, jarang-jarang... |
merek air mineral paling terkenal di Vietnam |
PENGELUARAN HARI ke-2
Bis 152 Bandara – Kota: 5.000 VND
Makan Siang Nasi Goreng Daging Sapi: 25.000 VND
Air Mineral: 10.000
VND
Kerupuk Udang + Salted Water: 12.500 VND
Paket Tour + Tiket Bis/orang:
775.500 VND
Beli Minum Tropicana Twister:
15.000 VND
Hotel 230.000 VND : 2 orang:
115.000 VND
Banh Mi: 15.000 VND
Camilan Astor: 16.000 VND
Minuman Soda: 15.000 VND
Air Mineral: 10.000
VND
TOTAL: 1.014.000 VND (Rp. 617.609)
TOTAL: 1.014.000 VND (Rp. 617.609)
Masih lanjut yaa (*lidah masih pahit)....
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBoleh tahu, kalau naik bis bandara itu turunnya dimana? Trus jalan kaki ato taxi ke tempat tournya? Bln depan saya jg mw kesana dan lagi cari2 info untuk ke mui ne juga. Thanks before...
ReplyDeleteNaik bis bandara nanti turun di depan Pasar Ben Thanh, nah jalan kaki aja mba/mas ke arah Jalan Pham Ngu Lao (pusatnya backpacker). Nah nyalain aja GPS mba, kan udah beli kartu tu di bandara (ini koordinatnya https://www.google.com/maps/place/TheSinhTourist+(SinhCafe)/@10.7683391,106.6927547,18z/data=!4m13!1m7!3m6!1s0x31752f3de9212357:0xe6320836f82516ba!2zUGjhuqFtIE5nxakgTMOjbywgUXXhuq1uIDEsIEjhu5MgQ2jDrSBNaW5oLCBWaWV0bmFt!3b1!8m2!3d10.7688503!4d106.6937954!3m4!1s0x0:0x627c7c02eb70bdd3!8m2!3d10.7681!4d106.693674).
DeleteSemoga berguna mba/mas, happy traveling!
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletecoriander leaf
ReplyDelete