Jelajah Petak Sembilan Glodok (Weekend Getaway)
Niat awal ke sini mau naik busway, tapi karena berbagai kondisi, akhirnya berganti menggunakan kendaraan pribadi, ckckck... Terus kenapa niat awalnya pengen naik busway ki? Faktor utama adalah karena Pecinan Petak Sembilan ini lokasinya berada persis di seberang halte pemberhentian busway Glodok, deket, deket banget, hanya tinggal berjalan kaki sebentar.
Tetapi, bukan berarti pergi ke Pecinan Petak Sembilan ini hanya bisa diakses menggunakan busway aja ya, kendaraan lain baik itu motor atau mobil juga bisa kok. Cuma memang, kalau mobil atau motor itu adalah kendaraan pribadi, kita akan sedikit kebingungan ketika akan memarkirkan kendaraan.
Saran dari gue, kalau pergi menggunakan kendaraan pribadi ke Pecinan Petak Sembilan di Glodok ini, sebaiknya jangan ngoyo buat parkir di pinggir jalan, karena itu penyebab kemacetan terbesar di kawasan ini. Solusi terbaiknya adalah memarkirkannya di gedung-gedung yang berada di sekitar Petak Sembilan, di sana ada LTC Glodok seperti yang gue datangi saat itu.
Bisa juga parkir di Novotel atau di Kota Tua (sekalian main), tapi sekarang jauh lebih enak kalau parkir di gedung baru yang berada tepat di area Chinatown Glodok, yaitu Pancoran Chinatown Point. Bangunan ini adalah sebuah pusat perbelanjaan (mall) yang di dalamnya punya nuansa khas Tionghoa. Intinya, kenapa gue saranin parkir di gedung-gedung di sekitarnya, supaya tidak menambah kemacetan yang ada menjadi semakin runyam.
sudah bisa parkir di basement bangunan ini |
Oke, setelah parkir, let’s go kita mulai;
- Gang Gloria
Gang Gloria di kawasan Pecinan Petak Sembilan Glodok ini memang menjadi pusat kuliner khas masyarakat etnis Tionghoa, bagaimana tidak di sepanjang gang kecil ini kita bakal disuguhkan dengan berbagai macam jenis makanan dan minuman. Mulai dari nasi hainam, bakmi amoy, bakmi gloria, soto betawi, es kopi, dan makanan lainnya.
Masuk aja terus ke dalam kita akan bertemu dengan persimpangan, di sana terdapat kantin yang dijuluki Kantin Gloria dengan berbagai macam penjual makanan yang katanya juga khas Tionghoa sejak zaman dahulu, seperti Gado-Gado Direksi, Kopi Es Gayo, Cakwe, Kari Lam, dan lainnya.
banyak makanan di sini memang, siapkan kocek lebih tapi ya |
Kebetulan sampai
di sini tepat jam 12 siang, setelah solat Dzuhur di masjid berwarna hijau yang
berada tidak jauh dari Kantin Gloria, gue memutuskan untuk memesan 1 porsi
gado-gado dan 1 porsi sop iga. Untuk minumnya, gue memesan 1 gelas kopi hitam
dan 1 gelas kopi susu Gayo. Sambil menunggu pesanan datang, gue membeli 2 buah
cakwe dengan harga Rp7.000. Ukuran cakwenya termasuk besar dan punya tekstur
yang renyah, lebih pas lagi saat dimakan dengan cara di cocol ke saus cabainya.
Enak!
ini cakwe yang ada di kantin gloria |
Gado-gado yang katanya terkenal enak ini sudah di diantar ke meja, rasanya ki? Pertama kali gue notice adalah bumbu kacangnya punya tekstur yang berbeda dengan kebanyakan olahan bumbu kacang gado-gado lainnya. Teksturnya lebih lembut, bahkan sama sekali nggak ada pecahan kacang yang masih kasar.
Untuk isinya, standar gado-gado seperti yang lain, ada sayuran, bunga kol, kacang panjang, kentang, taoge. Gado-Gado Direksi bisa terkenal karena dahulu menjadi panganan wajib karyawan dan direksi bank yang bekerja di sekitar sini, tapi kalau sekarang sepertinya tidak mungkin deh menjadi santapan karyawan sehari-hari, karena satu porsinya harus ditebus dengan harga 40 ribu Rupiah, mahal ya.
porsinya sih pas, nggak sedikit nggak kebanyakan juga |
lihat, bumbu kacangnya halus banget |
Nah untuk Kopi Es Gayo yang gue pesan dan minum, menjadi punya sedikit cerita bagi gue. Gue emang bukan penyuka kopi, tapi kalau disuruh coba gue masih bisa meminumnya. Kenapa gue bilang punya cerita, iya karena untuk harga sebuah es kopi ini termasuk mahal yaitu 17-18 ribu Rupiah.
Apalagi karena rasa asam yang kuat dari kopi hitam gayo ini juga yang membuat perut gue dari malam sampai keesokan paginya terasa sakit. Sama halnya dengan rasa kopi susunya yang sepertinya punya komposisi 80% kopi yang lebih banyak daripada susunya. Oke, ini memang pandangan subjektif aja, bagi sebagian orang mungkin akan menyukai jenis minuman kopi yang kuat seperti ini, tapi sorry to say nggak buat gue.
sop iga-nya yang sedikit terlalu gurih |
(kiri) es kopi hitam, (kanan) es kopi susu |
Pasar Petak Sembilan
Menelusuri pasar adalah salah satu hal yang paling menyenangkan, apalagi kalau banyak menemukan hal-hal baru di sana. Itulah yang gue rasakan ketika menelusuri Pasar Petak Sembilan di Glodok ini, banyak melihat sesuatu yang pertama kali gue tau, seperti banyaknya penjual teripang, penjual bakpia yang ukurannya besar banget, melihat buah cempedak dan bahkan menjadi santapan nikmat setelah digoreng.
jangan heran kalau lihat banyak wisatawan asing di sini |
ciri khas etnis Tionghoa, masih meminum ramuan jamu dari bahan-bahan tradisional |
salah satu dari sekian banyak penjual teripang di sini |
Nuansa pasar Petak Sembilan terlihat semakin khas dari banyaknya penjual pakaian yang serba merah, penjual amplop-amplop angpau, sampai aroma dupa yang sesekali tercium. Saat pertama kali masuk ke dalam pasar, tidak jauh dari toko manisan besar di sana, ada pedagang Cong Fan dengan gerobak kecilnya.
Cong Fan adalah makanan khas Tionghoa yang bentuknya mirip kuetiaw, tapi yang membedakan adalah adonannya terbuat dari tepung beras dan sedikit campuran tepung kanji. Disajikan menggunakan kecap asin dan taburan bawang goreng di atasnya, tapi sayangnya gue terlewatkan untuk membeli kuliner khas yang satu ini. Yah!
Lanjut, nggak jauh dari penjual Cong Fan, ada yang menjual makanan khas Tionghoa juga yaitu Mipan. Mipan juga sama seperti Cong Fan, sama-sama terbuat dari tepung beras. Tapi yang membedakan adalah bentuk dan penyajiannya. Mipan punya bentuk membulat yang dicetak di atas piring kecil berwarna perak.
Mipan punya tekstur yang kenyal, disajikan bersama potongan bawang putih goreng dan disiram gula merah sebagai pelengkapnya. Rasanya unik, manisnya gula merah bertemu dengan kenyalnya adonan Mipan, ditambah dengan gurihnya bawang putih, menghasilkan sensasi yang berbeda di lidah. Satu porsi Mipan hanya perlu ditebus dengan uang 7.500 Rupiah saja, sebuah makanan sederhana tetapi enak.
ternyata kalau makan di tempat bisa, nggak perlu pakai plastik |
Semakin lanjut berjalan kaki ke dalam pasar, semakin banyak juga hal menarik yang bisa kita temui, salah satunya adalah bertemu dengan penjual cempedak goreng. Ini adalah kali pertama gue melihat cempedak dan digoreng pula. Aroma cempedak yang semerbak tercium di depan penjual membuat rasa penasaran semakin tinggi. Buah cempedak adalah versi lain dari buah nangka, karena mulai dari bentuk, rasa, dan teksturnya itu sama persis.
Buah cempedak kemudian digoreng seperti layaknya pisang goreng dengan menggunakan tepung, disiram gula jawa cair di atasnya sebagai pelengkap. Muaniss, rasanya seperti yang sudah diduga saat melihat si penjual menambahkan gula jawa ke dalam plastik, rasa cempedak yang sudah manis masih harus ditimpa oleh manisnya lagi gula jawa. Hmm, andai tidak disiram gula jawa, mungkin rasa manisnya menjadi pas buat gue. Satu porsi cempedak goreng ini harganya 12 ribu Rupiah.
enak, tapi terlalu manis |
nggak hanya satu, banyak penjual cempedak goreng di sini |
Menyantap cempedak sambil berjalan menelusuri gang kecil di sini sungguh sangat menyenangkan. Sampai kemudian langkah seketika terhenti saat melihat penjual kaset lawas. It’s just waw! Memori langsung dibawa ke masa-masa dahulu ketika masih mempunyai radio tape atau walkman. Aahh, I love it!
buat yang mau nostalgia, di sini tempatnya |
Semakin ke dalam, jalan kecil ini akan tembus menuju Jalan Kemenangan 3, di mana di sana berdiri sebuah Vihara besar yaitu Dharma Jaya Toasebio Temple. Gue nggak masuk ke dalam, karena siang itu Vihara sedang ramai oleh mereka yang datang untuk beribadah. Oh iya, gue juga melihat Vihara lagi yaitu Klenteng Dharma Bakti yang berada di sudut jalan antara Jalan Kemenangan 3 dan Jalan Kemenangan Raya. Atmosfer berjalan kaki di area pecinan ini sungguh sangat menyenangkan dan tidak terasa seperti sedang berada di Jakarta.
rapi banget nyusunnya, warna-warniii.. |
jadi spot foto instagramable kan? |
ini klentengnya, sebenernya bisa masuk kok asal kita tetap sopan ya |
- Gedung Candra Naya
Teruslah berjalan hingga sampai di sebuah bangunan kuno oriental yang berada di area Green City Square atau di dekat Novotel Glodok. Rumah tua yang dijuluki Candra Naya ini dulunya digunakan sebagai rumah terakhir dari Mayor China di Batavia. Pas melihatnya di foto dan saat melihatnya langsung, itu beda banget. Gue bener-bener takjub karena bangunan tua bersejarah ini berdiri diantara bangunan hotel dan apartemen yang menjulang tinggi di sekitarnya.
cantik banget tempat ini, beneran! |
kolam koi besar dengan gemericik airnya yang menenteramkan |
Ada area taman dengan kolam ikan koi yang nyaman banget buat bersantai karena diiringi dengan semilirnya angin sepoi-sepoi. Selain masih adanya area untuk beribadah umat Tionghoa di sini, bangunan Candra Naya juga dikelilingi oleh banyak restoran dan kafe-kafe, cocok banget buat sekedar ngobrol sama temen-temen atau saat ingin menyendiri dari hiruk pikuk jalan raya Ibukota yang macet.
Masuk ke dalam bangunan Candra Naya ini tidak dipungut biaya, kita hanya disuruh menulis nama di buku tamu yang sudah disediakan di sana. Kita bisa melihat betapa indahnya desain arsitektur bangunan ini secara detail dan mengetahui sejarah tentang bangunan ini. Di 2 ruangan besar lainnya, kita juga bisa melihat berbagai macam koleksi keren dan lucu yang dipajang di sepanjang dinding ruangannya. Menarik!
adem, semilir, bikin ngantuk.. |
detail yang masih dipertahankan |
ini adalah ruangan tempat beribadahnya |
ini deretan kursi berpayung di sisi sebelah selatan gedung |
bangunan dengan desain arsitek kuno yang keren |
ada banyak koleksi yang lucu dan keren di Candra Naya |
bangunan Candra Naya berada persis di area dalam gedung Novotel ini |
Jadi, Petak Sembilan yang berada di Glodok merupakan sebuah kawasan yang mempunyai sejarah panjang sejak zaman Belanda, karena di sinilah dahulu warga etnis Tionghoa di relokasi dan menyatu dengan kultur Betawi yang sudah ada sebelumnya.
Sekarang, kawasan ini seolah tak pudar oleh zaman, di mana masih sangat terasa kental sekali budaya Tionghoa yang hadir. Maka jangan heran ketika main dan berkeliling di sini, seolah sedang berada di daerah lain di luar kota Jakarta.
Happy Weekend!
Comments
Post a Comment